Postingan

Menampilkan postingan dengan label HUKUM PIDANA

PENGATURAN CUSTOMER DUE DILLIGENCE PRINCIPLE GUNA MEMBERANTAS MONEY LAUNDERING

Menurut Munir Fuady, Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui sejauh mungkin identitas nasabah serta memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk kegiatan pelaporan transaksi mencurigakan, yang meliputi nasabah biasa (face to face customer), maupun nasabah bank tanpa berhadapan secara fisik (non face to face customer), seperti nasabah yang melakukan transaksi melalui telepon, surat menyurat, dan electronic banking.  Penjelasan Umum Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum menyebutkan penggunaan istilah Customer Due Dilligence dalam identifikasi, verifikasi, dan pemantauan nasabah, yang selama ini dikenal dengan Know Your Customer. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa Customer Due Dilligence adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil nasabah. Penerapa...

PRIVATE BANKING DALAM PUSARAN MONEY LAUNDERING

Sering kita mendengar istilah “Money Laundering” atau jika dialihbahasakan menjadi Bahasa Indonesia menjadi “pencucian uang”, mungkin secara mudah kita akan dapat menebak apa yang dimaksud dengan tindakan pencucian uang tersebut. Tetapi untuk lebih memperjelasnya terdapat beberapa definisi mengenai Money Laundering yang dapat dijadikan acuan.  The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) mendefinisikan “Money Laundering is theprocessing of these criminal proceeds to disguiese their ilegal origin” sedangkan RAND merupakan organisasi nonprofit (lembaga think thank) yang didirikan sejak tahun 1946 berkantor pusat di Amerika yang berkecimpung dalam bidang penelitian dan pengembangan mendefinisikan “Money Laundering is an ilegal activity through which proceeds take on outward appereance of legitimacy”.  Secara umum dari kedua definisi tersebut dapat diterjemahkan bahwa money laundering merupakan “proses menyamarkan atas hasil atau keuntungan yang diperoleh dari tindak...

PENGATURAN GANTI KERUGIAN BAGI KORBAN TINDAK PIDANA DALAM KUHP

Secara selintas, pengaturan mengenai pemberian ganti kerugian kepada korban kejahatan dapat pula dilihat dalam ketentuan Pasal 14 c ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi selengkapnya sebagai berikut: Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14 a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagian saja, yang akan ditentukan pada perintah yang ditentukan pada itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu. Ketentuan sebagaimana tersebut di atas, mensiratkan bahwa ada perlindungan abstrak atau tidak langsung yang diberikan undang-undang sebagai kebijakan formulatif kepada korban kejahatan. Perlindungan tersebut meliputi penjatuhan hukuman oleh hakim dengan menetapkan syarat umum dan syarat khusus berupa ditentukannya kepada terpidana untuk mengganti kerugian ya...

UU MATA UANG : APAKAH LEX SPECIALIS ATAS KUHP ATAU BUKAN?

  Untuk mendukung argumentasi penulis bahwa tindak pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang [1] sebagai bagian dari tindak pidana di bidang ekonomi, penulis menggunakan pengertian Tindak Pidana Ekonomi dari Mardjono Reksodiputro. Menurut Mardjono Reksodiputro, Kejahatan Ekonomi (Tindak Pidana Ekonomi-pen) adalah setiap perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan dalam bidang ekonomi dan di bidang keuangan serta mempunyai sanksi pidana. Dari pengertian yang disampaikan oleh Mardjono Reksodiputro tersebut, maka tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Mata Uang merupakan bagian dari tindak pidana di bidang ekonomi. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Mata Uang merupakan peraturan perundang-undangan dalam bidang ekonomi (karena mata uang merupakan alat transaksi dan alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian) [2] , dan bersanksi pidana (Sanksi Pidana diatur dalam BAB X dengan judul Ketentuan Pidana mulai Pa...

LANDASAN TEORITIS ATAS PENERAPAN ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI DALAM HUKUM PIDANA

Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Berdasarkan asas Lex specialis derogat legi generalis ,  aturan yang bersifat umum itu tidak lagi memiliki “ validity ” sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat khusus, aturan yang khusus tersebut sebagai hukum yang valid , yang mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. [1] Asas Lex specialis derogat legi generali telah diatur dalam Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, untuk selanjutnya disebut KUHP. Ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP mengatur bahwa: “ Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan .” Pasal 63 ayat (2) KUHP ini menegaskan keberlakuan ( validitas ) aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu  perbuat...

ANALISIS YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

  LATAR BELAKANG Laporan yang datang dari penjuru mencatat bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi di segala lapisan masyarakat dari keluarga terpandang sampai keluarga miksin. Pelaku dan korban itu sendiri berasal dari berbagai suku bangsa, ras, agama, kelas sosial, dan tingkat pendidikan yang mana pun. Untuk konteks Indonesia, dimilikinya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, untuk selanjutanya disebut UU PKDRT dapat diharapkan sebagi babak permulaan yang baik bagi upaya untuk mengakhiri kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Seorang ahli dalam hal sociological jurisprudence, Roscoe Pound sangat yakin bahwa hukum dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial ( law as a tool of social engineering ) [1] Walaupun telah diundangkannya UU PKDRT, kasus kekerasan yang dialami perempuan tidak kunjung berkurang, bahkan cenderung bertambah. Catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat jum...