URGENSI PENETAPAN STATUS TERSANGKA SEBAGAI PERLUASAN ATAS OBJEK PRAPERADILAN
Lembaga Praperadilan sejatinya diilhami dari adanya hak habeas corpus dalam sistem hukum Anglo Saxon (common law system), yang memberikan jaminan mendasar terhadap hak asasi manusia khususnya hak atas kemerdekaan bergerak. Salah satu gak yang diberikan oleh Habeas Corpus Act pada seorang tersangka atau terdakwa adalah hak untuk menuntut pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi ataupun jaksa) untuk membuktikan bahwa penahanan itu tidak melanggar hukum melalui suatu surat perintah pengadilan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku maupun jaminan hak asasi manusia tetap terjaga.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan pemeriksaan, oleh undang-undang diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan berupa upaya paksa yang sejatinya merupakan pengurangan atau pembatasan hak asasi manusia. Oleh karena itu, dalam melakukan upaya paksa tersebut, apparat penegak hukum harus mentaati ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks hak asasi manusia, perlu pula dipahami bahwa ketaatan aparat penegak hukum terhadap peraturan perundang-undangan dalam melakukan upaya paksa bertujuan agar tidak ada hak seseorang yang tercederai. Dengan kata lain, seorang tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk mengetahui dengan jelas apakah dalam melaksanakan upaya paksa tersebut, para petugas penegak hukum telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tidak.
Dalam konteks hukum acara pidana, serangkaian upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam tingkat penyidikan bertujuan untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup sehingga dapat menetapkan status tersangka terhadap seseorang yang patut diduga melakukan tindak pidana. Namun KUHAP tidak memberikan pengaturan terkait pengawasan atas penetapan status tersangka, sedangkan dengan menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa didasarkan bukti permulaan yang cukup, apalagi apabila terdapat penyimpangan dalam proses penetapan tersangka tersebut merupakan sebuah tindakan pelanggaran hak asasi manusia.
Keterbatasan kewenangan Praperadilan sebagai alat pengawasan horizontal terhadap tindakan penyidik terliat jelas dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209 selanjutnya disebut KUHAP) yang menyebutkan bahwa kewenangan Praperadilan hanya terpatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Dengan demikian, penetapan seseorang sebagai tersangka bukanlah termasuk dalam kewenangan Praperadilan.
Untuk mengurai permasalahan tersebut pada tanggal 28 April 2015 terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014 dalam permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah yang melakukan pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, dan Pasal 156 ayat (2) KUHAP. Berdasarkan permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan No.21/PUU-XII/2014 yang salah atu amar putusannya menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian yaitu Pasal 77 huruf a KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan status seseorang sebagai tersangka belum menjadi isu penting yang harus dibahas dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun saat ini, penetapan tersangka yang dilakukan oleh penyidik dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang dapat berakibat pada adanya pelanggaran hak asasi manusia manakala penetapan tersangka tersebut dilaksanakan tanpa adanya bukti permulaan yang cukup. Hal ini dikarenakan penetapan status tersangka tersebut tidak ada batasan waktu yang jelas. Selain itu, tidak adanya kesempatan bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka untuk melakukan upaya hukum untuk menguji apakah penetapan tersangka tersebut telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan menunjukkan belum ada lembaga pengawasan terhadap proses penetapan tersangka yang dilakukan oleh penegak hukum.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memperluas objek praperadilan didasarkan kepada pemikiran bahwa Indonesia sebagai negara hukum yang bercirikan prinsip due process of law. Prinsip tersebut merupakan implementasi ataspenghargaan hak asasi manusia yang memberikan posisi yang seimbang dalam proses peradilan pidana, baik bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana untuk mempertahankan hak-haknya secara setara dan seimbang.
Sesuai dengan prinsip due process of law, hukum acara pidana sebagai salah satu implementasi dari penegakan dan perlindungan HAM haruslah memberikan posisi yang seimbang dalam proses peradilan pidana. Dengan demikian, makna perluasan objek praperadilan mengenai keabsahan penetapan tersangka dapat dilihat dari tiga alasan yaitu:
- Alasan filosofis yaitu untuk menjamin hak-hak tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia yang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum
- Alasan yuridis yaitu pertimbangan hukum Mahkamah konstitusi dalam Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011 Jo Putusan Mahkamah Nomor 78/PUU-XI/2013, Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
- Alasan sosiologis yaitu dimungkinkannya terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik dalam proses penetapan tersangka yang masuk dalam proses penyidikan yang berakibat kepada pelanggaran hak asasi manusia.
Atas dasar tersebut, maka Mahkamah Konstitusi memberikan hak kepada seseorang untuk mendapatkan perlindungan kepada Lembaga Praperadilan terhadap tindakan penyidik yang tidak memegang teguh prinsip kehati-hatian dan diduga telah melanggar hak asasi manusia, khususnya dalam penetapan tersangka.
Perluasan objek praperadilan mengenai sah atau tidaknya penetapan seseorang menjadi tersangka sangat penting apabila yang menjadi patokannya adalah perlindungan Hak Asasi Manusia. Jika perluasan objek praperadilan mengenai penetapan status seseorang sebagai tersangka hanya didasarkan kepada terjadinya pelanggaran HAM akibat tindakan sewenang-wenang oleh penyidik, maka hal tersebut merupakan suatu dasar argumen yang subjektif. Hal ini dikarenakan tindakan penyidik dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka dapat diukur dari tingkat professionalitasnya dan sesuatu tidak dapat dikatakan sewenang-wenang apabila setiap tindakannya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAHAN BACAAN
A. BUKU
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika. Bambang Poernomo, 1982, PokokPokok Hukum Acara Pidana Dan Beberapa Harapan Dalam Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Yogyakarta : Liberty.
Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana : Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,
Masyhur Effendi,1994, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia.
S. Tanusubroto, 1983, Peranan Pra-Peradilan dalam Hukum Acara Pidana, Bandung: Alumni.
B.Perundang-undangan
Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
C.Sumber lain
Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014
Komentar
Posting Komentar