PENGATURAN GANTI KERUGIAN DALAM KUHAP
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai landasan umum bagi hukum acara pidana Indonesia, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam bab II, pada dasarnya lebih berorientasi memberikan perlindungan kepada pelaku kejahatan (baik dalam kapasitas sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana). Akan tetapi sebenarnya KUHAP juga telah memberikan landasan hukum bagi korban kejahatan untuk dapat memperoleh ganti kerugian. Dalam KUHAP yang berlaku saat ini, memang tidak mengenal istilah restitusi maupun kompensasi, namun menggunakan istilah “ganti kerugian”. Dan pada dasarnya, ganti kerugian yang dimaksud dalam KUHAP tersebut adalah bentuk gugatan perdata yang kemudian diikutkan dalam proses pidana yang berlangsung.
Mengenai ganti kerugian tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Aspek ganti kerugian yang diberikan pelaku kepada korban, dapat dikaji mulai dari ketentuan Pasal 98 ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa:
Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang lain dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.
Menurut penjelasan ketentuan Pasal 98 ayat (1) KUHAP, maksud penggabungan perkara gugatan perdata pekara ini adalah supaya perkara gugatan tersebut sama-sama diperiksa serta diputuskan sekaligus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Kemudian pengertian “kerugian bagi orang lain” termasuk kerugian pihak korban. Dengan adanya penggabungan maka akan menghemat waktu, biaya, dan perkaranya dapat cepat diselesaikan. Akan tetapi, ternyata penggabungan gugatan ganti kerugian tersebut sifatnya terbatas hanya pada kerugian yang nyata-nyata diderita oleh korban. Aspek ini secara implisit ditentukan dalam Pasal 99 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut:
Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka Pengadilan Negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
Pada akhir kalimat dalam Pasal 99 ayat (1) KUHAP tersebut di atas yang berbunyi “hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut”, dapat ditafsirkan sebagai kerugian yang sifatnya riil atau nyata. Sedangkan terhadap kerugian yang sifatnya immateriil yang diderita korban dengan mengacu akhir kalimat Pasal 99 ayat (1) KUHAP tidak dapat diajukan dalam penggabungan gugatan ganti kerugian karena masih memerlukan pembuktian relatif sulit, lama dan berbelit-belit, sehingga harus melalui gugatan perkara biasa.
Menurut M. Yahya Harahap, putusan hakim hanya terbatas tentang pengabulan yang menetapkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Hal ini berarti besarnya ganti kerugian hanyalah sebesar jumlah kerugian nyata atau kerugian materiil saja. Diluar kerugian nyata, seperti kerugian yang bersifat immateriil tidak dapat diajukan dalam penggabungan perkara. Seandainya ganti kerugian yang immateriil ada diajukan oleh pihak yang dirugikan, hakim harus menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima (niet onvankelijke).
Namun, meskipun gugatan perdata yang digabungkan dalam perkara pidana dilaksanakan melalui proses peradilan pidana melalui mekanisme penggabungan perkara, kenyataannya dalam proses upaya hukumnya tidak diberikan landasan hukum yang memadai karena jika perkara pidananya tidak diajukan upaya hukum, maka gugatan ganti kerugian juga tidak dapat diajukan upaya hukum meskipun putusan tentang ganti kerugian itu dirasakan tidak memadai oleh korban (pihak yang dirugikan). Aspek ini secara implisit ditentukan dalam Pasal 100 ayat (2) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “Apabila terhadap suatu perkara pidana yang tidak diajukan permintaan banding, maka ganti kerugian tidak diperkenankan.”
Apabila dijabarkan, maka ketentuan Pasal 100 ayat (2) KUHAP telah membatasi korban dalam hal sebagai berikut:
1. Ditinjau anasir prosesnya, maka tidak ada aturan atau pedoman yang harus dilakukan oleh korban apabila merasa tidak puas atas putusan hakim tentang besarnya ganti kerugian yang dijatuhkan. Konkretnya, Korban tidak mempunyai proses langsung untuk melakukan upaya hukum banding. Karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 100 ayat (2) KUHAP maka permintan banding putusan ganti kerugian baru dapat diajukan apabila perkara pidananya dilakukan upaya hukum banding. Sehingga, jika korban berkeinginan untuk mengajukan banding, jalurnya hanya melalui penuntut umum yang belum tentu menyetujui kehendak korban dimaksud karena jalur tersebut bukan merupakan ketentuan undang-undang melainkan berdasarkan pendekatan persusasif antara korban dengan penuntut umum sehingga dapat dikatakan bahwa perlindungan korban yang diberikan melalui ketentuan yang dimaksud belum sepenuhnya dapat menjamin kepentingan korban dalam upaya untuk mencari keadilan.
2. Perlindungan korban dengan melalui upaya hukum banding tergantung penuntut umum. Tegasnya, besar kemungkinan terjadi perbedaan pandangan dan kepentingan antara korban dengan penuntut umum, Jika korban berkeinginan mengajukan banding akan tetapi penuntut umum menerima putusan maka keinginan korban untuk melakukan upaya hukum banding terhadap putusan ganti kerugian tertutup.
Dengan adanya pembatasan-pembatasan sebagaimana diuraikan di atas, maka kelemahan-kelemahan dari praktik penggabungan gugatan ganti kerugian yang ada dalam KUHAP, dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Sistem penggabungan tersebut dirasakan belum mendekati hakikat tujuan ganti kerugian itu sendiri;
b. Tuntutan ganti kerugian oleh orang lain yang menderita langsung kerugian atau pihak korban untuk memperoleh jumlah besarnya ganti kerugian dibatasi hanya pada kerugian materiil yang nyata-nyata dikeluarkan oleh orang yang dirugikan langsung tersebut. Jadi KUHAP dalam ketentuan-ketentuannya membatasi hak;
c. Untuk kerugian non materiil, yaitu kerugian immateriil terpaksa harus mengajukan lagi dengan gugatan perdata biasa tersendiri, yang mungkin dapat memakan waktu lama;
d. Kondisi seperti ini berarti mengaburkan maksud semula dari penggabungan itu sendiri, yang bertujuan untuk menyederhanakan proses;
e. Adanya kendala dalam pelaksanaan masalah pembayaran ganti kerugian tersebut;
f. Apabila pihak korban tetap menuntut ganti kerugian yang bersifat immateriil juga, hasilnya akan nihil, karena putusan selalu menyatakan: gugatan ganti kerugian immateriil tersebut dinyatakan tidak dapat diterima, karena tidak berdasarkan hukum;
g. Majelis hakim/hakim harus cermat, sebab selalu harus memisahkan antara kerugian materiil dengan kerugian immateriil, sehingga tidak efisien;
h. Gugatan ganti kerugian pada perkara pidana hanya bersifat assessor;
i. Pada setiap putusan perdatanya, pihak korban/penggugat dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian tersebut selalu menggantungkan pihak terdakwa atau jaksa penuntut umum jika mau banding, sehingga melenyapkan hak bandingnya sebagai upaya hukum.
Kelemahan-kelemahan di atas semakin mempersempit ruang korban tindak pidana untuk mengajukan hak-haknya. Penggabungan gugatan ganti kerugian hanya memberikan peluang untuk kerugian materiil saja. Sedangkan untuk pemulihan kerugian immateriil masih harus diajukan secara terpisah melalui gugatan perdata yang pada prakteknya tidak sederhana.
Dalam dimensi yang lain, KUHAP juga mengatur mengenai ganti rugi terkait korban dari penyalahgunaan kekuasaan dari aparat (abuse of power) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 77 dan 95 KUHAP. Pasal 77 KUHAP mengatur mengenai ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntuan. Sedangkan Pasal 95 KUHAP mengatur ganti rugi bagi tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya. Dalam dalam hal ini, tersangka, terdakwa, atau terpidana berhak menuntut kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdapat batasan waktu pengajuan dan jumlah uang ganti rugi yang dapat diberikan. Mengenai batas waktu pengajuan tuntutan ganti kerugian tersebut, Pasal 7 PP No. 27 Tahun 1983 menentukan bahwa: Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat pemebritahuan penetapan praperadilan. Sedangkan mengenai jumlah uang ganti kerugian yang dapat diberikan, diatur dalam Pasal 9 PP No. 27 Tahun 1983, menentukan:
(1) Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp. 5000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah).
(2) Apabila penagkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp.3000.000,- (tiga juta rupiah).
Jika dilihat dari jumlah nominal uang ganti rugi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 PP No. 27 Tahun 1983, maka dalam dimensi waktu saat ini, jumlah tersebut sudah tidak relevan lagi mengingat peningkatan nilai mata uang rupiah dari tahun 1983 hingga saat ini mengalami perubahan yang sangat besar.
BAHAN BACAAN
Barda Nawawi Arief. 2009. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana.
Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Cetakan Kedelapan. Jakarta: Sinar Grafika.
Mulyadi, Lilik. 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi & Viktimologi. Jakarta: PT. Djambatan.
Mulyadi, Lilik. 2010. Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif teoritis dan Praktik Peradilan Pidana (Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem Peradilan dan Kebijakan Hukum Pidana, Filsafat Pemidanaan serta Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Korban Kejahatan). Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju.
R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian dalam KUHAP, (Bandung: Mandar Maju, 2003),
Komentar
Posting Komentar