PENGATURAN GANTI KERUGIAN BAGI KORBAN TINDAK PIDANA DALAM KUHP
Secara selintas, pengaturan mengenai pemberian ganti kerugian kepada korban kejahatan dapat pula dilihat dalam ketentuan Pasal 14 c ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi selengkapnya sebagai berikut:
Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14 a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagian saja, yang akan ditentukan pada perintah yang ditentukan pada itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.
Ketentuan sebagaimana tersebut di atas, mensiratkan bahwa ada perlindungan abstrak atau tidak langsung yang diberikan undang-undang sebagai kebijakan formulatif kepada korban kejahatan. Perlindungan tersebut meliputi penjatuhan hukuman oleh hakim dengan menetapkan syarat umum dan syarat khusus berupa ditentukannya kepada terpidana untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban. Akan tetapi ternyata aspek ini sifatnya abstrak atau perlindungan tidak langsung karena sifat syarat khusus tersebut berupa penggantian kerugian adalah fakultatif, tergantung penilaian hakim. Oleh karena itu, dengan asas keseimbangan individu dan masyarakat (asas monodualistik) seharusnya perlindungan terhadap korban kejahatan KUHP sifatnya imperatif.
Pada hakikatnya, dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat menurut pasal 14 c KUHP, hakim dapat menetapkan syarat khsusus berupa “mengganti kerugian” akibat tindak pidana, sehingga seolah-olah ganti kerugian tersebut berfungsi sebagai pengganti pidana pokok.
Menurut Barda Nawawi Arief, penetapan ganti rugi ini jarang ditetapkan dalam praktek karena mengandung beberapa kelemahan, antara lain:
a. Penetapan ganti kerugian ini tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai sanksi yang berdiri sendiri di samping pidana pokok, ia hanya dapat dikenakan dalam hal hakim bermaksud menjatuhkan pidana bersyarat, jadi hanya sebagai “syarat khusus” untuk tidak dilaksanakannya/dijalaninya pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana,
b. Penetapan syarat khusus berupa ganti kerugian inipun hanya dapat diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan,
c. Syarat khusus berupa ganti kerugian inipun menurut KUHP hanya bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif.
Menurut Lilik Mulyadi, berdasarkan ketentuan Pasal 14 a, b dan c KUHP, bentuk syarat khusus berupa ganti kerugian kerugian bukan salah satu jenis pidana sebagaimana ketentuan Pasal 10 KUHP dan aspek ini tetap mengacu pada pelaku tindak pidana (offender oriented) dan bukan pada korban tindak pidana (victim oriented).
DAFTAR BACAAN
Barda Nawawi Arief. 2009. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana.
Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Cetakan Kedelapan. Jakarta: Sinar Grafika.
Mulyadi, Lilik. 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi & Viktimologi. Jakarta: PT. Djambatan.
Mulyadi, Lilik. 2010. Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif teoritis dan Praktik Peradilan Pidana (Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem Peradilan dan Kebijakan Hukum Pidana, Filsafat Pemidanaan serta Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Korban Kejahatan). Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju.
Komentar
Posting Komentar