PENGATURAN CUSTOMER DUE DILLIGENCE PRINCIPLE GUNA MEMBERANTAS MONEY LAUNDERING

Menurut Munir Fuady, Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui sejauh mungkin identitas nasabah serta memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk kegiatan pelaporan transaksi mencurigakan, yang meliputi nasabah biasa (face to face customer), maupun nasabah bank tanpa berhadapan secara fisik (non face to face customer), seperti nasabah yang melakukan transaksi melalui telepon, surat menyurat, dan electronic banking. 

Penjelasan Umum Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum menyebutkan penggunaan istilah Customer Due Dilligence dalam identifikasi, verifikasi, dan pemantauan nasabah, yang selama ini dikenal dengan Know Your Customer. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa Customer Due Dilligence adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil nasabah.

Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah ini didasari pertimbangan bahwa Prinsip Mengenal Nasabah tidak hanya penting untuk memberantas praktek pencucian uang, akan tetapi juga dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi bank atau perusahaan jasa keuangan lain dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party. Khususnya terhadap para nasabah, pihak bank atau perusahaan jasa keuangan lain harus mengenali nasabah, agar tidak terjerat dalam kejahatan pencucian uang.

Berkenaan dengan hal tersebut, the Basel Committee mengeluarkan suatu rekomendasi yang dapat digunakan sebagai acuan oleh lembaga perbankan dalam membentuk sistem dan prosedur pengawasan yang memadai untuk mencegah agar bank tidak digunakan sebagai sarana tindak pidana, termasuk tindak pidana pencucian uang yang semakin marak terjadi. Pedoman yang dikeluarkan oleh the Basel Committee mengenai customer due diligence and anti-money laundering efforts tersebut terbagi dalam tiga makalah (papers). 

Makalah pertama adalah Statement on Prevention of Criminal Use of the Banking System for the Purpose of Money Laundering (1988), menetapkan beberapa prinsip dasar bagi lembaga perbankan yang intinya menganjurkan kepada bank-bank agar melakukan identifikasi terhadap para nasabahnya, menolaknya setiap transaksi yang mencurigakan, dan menjalin kerja sama dengan pihak yang berwajib untuk menanggulangi kegiatan pencucian uang. 

Makalah kedua adalah the Core Principles for Effective Banking Supervision (1977) yang di dalamnya berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: 

a. Principle 1: preconditions for effective banking supervision;

b. Principles 2 to 5: licensing and structure;

c. Principles 6 to 15: prudential regulations and requirements;

d. Principles 16 to 20: methods of ongoing banking supervision;

e. Principle 21: information requirements;

f. Principle 22: formal powers of supervisors;

g. Principles 23 to 25: cross border banking.

The Core Principles for Effective Banking supervision juga menetapkan beberapa hal, diantaranya bahwa sebagai bagian dari pengawasan internal, bankbank harus menerapkan kebijakan, praktik, dan prosedur yang dapat mendorong terbentuknya standar etika dan profesional yang cukup tinggi bagi sektor perbankan serta mencegah pemanfaatan bank sebagai sarana kejahatan (Principle 15).  Selain itu makalah kedua menganjurkan agar bank mengikuti Rekomendasi dari Financial Action Task Force (FATF) khususnya yang berkaitan dengan identifikasi nasabah, pemeliharaan catatan atau dokumen, pelaporan transaksi yang mencurigakan, dan upaya-upaya terhadap negaranegara yang belum memiliki ketentuan anti pencucian uang yang memadai. Jadi pada makalah kedua inilah the Basel Committee mengharuskan bank untuk memiliki dan menerapkan ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan Prinsip Mengenal Nasabah.

Selain itu, Empat Puluh Rekomendasi FATF menetapkan kerangka dasar dalam upaya anti pencucian uang dan dirancang agar dapat diterapkan di seluruh dunia. Rekomendasi itu mencakup sistem hukum pidana dan penegakan hukum, sistem keuangan dan peraturannya, serta kerja sama internasional.  Dari keempat puluh Rekomendasi tersebut, hampir separuhnya berlaku untuk industri keuangan baik lembaga keuangan bank maupun non-bank, yaitu Recommendation 10 sampai dengan Recommendation 29. Rekomendasi tersebut pada intinyya menganjurkan agar lembaga-lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank, berupaya mengenal nasabahnya dan mengetahui sumber dana yang disimpan atau digunakan oleh nasabah. Rekomendasi inilah yang menjadi landasan bagi Prinsip Mengenal Nasabah.

Pada tanggal 1 Juli 2009 Bank Indonesia selaku institusi pengawasan perbankan di Indonesia telah menetapkan Peraturan Bank Indonesia nomor 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum sebagai salah satu upaya dalam mencegah digunakannya perbankan nasional sebagai media kegiatan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Bagi sektor perbankan sendiri, Peraturan Bank Indonesia ini dimaksudkan sebagai pedoman agar bank dapat mengenal dan mengetahui kebenaran identitas nasabahnya sehingga dapat mencegah digunakannya bank sebagai sarana dilakukannya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme oleh pihak-pihak tertentu, serta menjaga reputasi dan integritas sistem perbankan secara keseluruhan. 

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum ini memuat pengaturan mengenai Customer Due Dilligence dalam identifikasi, verifikasi, dan pemantauan nasabah. Sebelumnya, pengaturan mengenai identifikasi, verifikasi, dan pemantauan nasabah tersebut dikenal dengan istilah Know Your Customer yang pengaturannya terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Dengan disahkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umu, maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum mengatur beberapa pokok pengaturan baru yang tidak terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles), yaitu:

a. Penggunaan istilah Customer Due Dilligence untuk Know Your Customer Principles dalam identifikasi, verifikasi, dan pemantauan nasabah;

b. Penggunaan pendekatan berdasarkan risiko (Risk Based Approach) dalam penerapan Program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT), sehingga terdapat aturan Customer Due Dilligence untuk area berisiko tinggi, Politically Exposed Persons, dan area berisiko rendah;

c. Pengaturan mengenai pencegahan pendanaan teroris antara lain dengan mewajibkan bank untuk melakukan penelitian lebih lanjut nama nasabah yang memiliki kemiripan nama dalam daftar teroris;

d. Pengaturan mengenai Cross Border Correspondent Banking, antara lain mencakup kewajiban bank untuk meminta informasi profil calon bank respondent, melakukan Customer Due Dilligence terhadap Bank Penerima/Penerus berdasarkan Risk Based Approach serta pendokumentasian transaksi;

e. Pengaturan mengenai transfer dana yang dibagi menjadi transfer dana di dalam atau di luar wilayah negara Indonesia yang disesuaikan dengan 40+9 rekomendasi FATF.

Customer Due Dilligence yaitu kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil nasabah. Pengaturan mengenai Customer Due Dilligence yang lebih sederhana adalah sebagai berikut:

a. Bagi calon Nasabah perorangan yang memenuhi kriteria Customer Due Dilligence yang lebih sederhana, Bank wajib meminta informasi mengenai identitas nasabah yang memuat : nama lengkap termasuk alias apabila ada; nomor dokumen identitas yang dibuktikan dengan menunjukkan dokumen dimaksud; alamat tempat tinggal yang tercantum pada kartu identitas; alamat tempat tinggal terkini termasuk nomor telepon apabila ada; dan tempat dan tanggal lahir;

b. Bagi calon Nasabah perusahaan yang memenuhi kriteria Customer Due Dilligence yang lebih sederhana, Bank wajib meminta:

1) Informasi mengenai nama perusahaan dan alamat kedudukan perusahaan; dan

2) Spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank untuk perusahaan yang tergolong usaha mikro dan usaha kecil, atau dokumen identitas anggota Direksi yang berwenang mewakili perusahaan untuk melakukan hubungan usaha dengan Bank untuk perusahaan yang tidak tergolong Usaha Kecil.

c. Bagi Walk In Customer perusahaan yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 3.

Mengenai pelaksanaan Customer Due Dilligence oleh pihak ketiga, Pasal 25 ayat (1) menyebutkan bahwa Bank dapat menggunakan hasil Customer Due Dilligence yang telah dilakukan oleh pihak ketiga terhadap calon Nasabahnya yang telah menjadi nasabah pada pihak ketiga tersebut, dimana pada Pasal 25 ayat (2) pihak ketiga dipersyaratkan sebagai berikut:

a. Memiliki prosedur Customer Due Dilligence sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

b. Memiliki kerja sama dengan Bank dalam bentuk kesepakatan tertulis;

c. Tunduk pada pengawasan dari otoritas berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

d. Bersedia memenuhi permintaan informasi dan salinan dokumen pendukung apabila sewaktu-waktu dibutuhkan oleh Bank dalam rangka pelaksanaan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme; dan

e. Berkedudukan di negara yang telah menerapkan rekomendasi FATF

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak mengatur secara jelas mengenai prinsip mengenal nasabah. Pasal 2 menyebutkan bahwa “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”. Salah satu penerapan prinsip kehati-hatian ini yaitu kewajiban bank untuk memiliki dan menerapkan kebijakan prinsip mengenal nasabah. Penerapan prinsip ini merupakan wujud dari prinsip kehati-hatian pihak perbankan (prudencial) terhadap nasabah maupun pertanggungjawabannya kepada negara. Menurut Yunus Husein, penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dimaksudkan dapat mendorong terselenggaranya prinsip kehati-hatian dalam rangka mengurangi risiko usaha yang dihadapi bank dalam menjalankan kegiatan usaha yaitu operational risk, legal risk, concentration risk, dan reputational risk”.

Disamping itu terdapat pengaturan yang berkaitan dengan prinsip mengenal nasabah, yaitu mengenai prinsip kerahasiaan bank pada Pasal 40. Dalam hal penerapan prinsip mengenal nasabah, prinsip kerahasiaan bank ini harus dikesampingkan. Sebagai lembaga keuangan yang dipecaya oleh masyarakat (fiduciary financial insttution), bank dihadapkan pada dua kewajiban yang saling bertentangan dan seringkali tidak dapat dirundingkan. Di satu pihak, bank mempunyai kewajiban untuk tetap merahasiakan keadaan dan catatan keuangan nasabahnya karena kewajiban ini timbul atas dasar adanya kepercayaan. Di lain pihak, bank juga berkewajiban untuk mengungkapkan keadaan dan catatan keuangan nasabahnya dalam keadaan-keadaan tertentu.

Secara tersirat, prinsip mengenal nasabah dalam Undang-Undang Pencucian Uang terdapat dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 22 yang pada prinsipnya memuat sekurang-kurangnya:

a. identifikasi Pengguna Jasa;

b. verifikasi Pengguna Jasa; dan

c. pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.

Pasal 23 ayat (1) mengatur mengenai pelaporan, yang menyeutkan bahwa Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK mengenai adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan (Suspicious Transaction Report / STR), Transaksi Keuangan Tunai (Cash Transaction Report / CTR) dalam jumlah kumulatif sebesar Rp 500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah) atau lebih baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja, dan Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri. Selanjutnya dalam Pasal 28 dijelaskan bahwa pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan maupun Penyedia Barang/Jasa yang sesuai dengan Pasal 17, dikecualikan dari ketentuan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai rahasia bank.

Mengenai adanya pelaporan pada Pasal 23 diatas, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 46 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum, yang menyebutkan bahwa “Bank wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai, dan laporan lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang kepada PPATK”. Berdasarkan pemaparan Yunus Husein selaku ketua PPATK, informasi akan kepatuhan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dalam menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) ke PPATK yang dari hari ke hari terus meningkat. Sampai dengan akhir Februari 2010, PPATK telah menerima 49.040 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM). .309.630 Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) dan 4.262 Laporan Pembawaan Uang Tunai. Laporan Hasil Analisis (LHA) yang telah disampaikan kepada penegak hukum sebanyak 1160 kasus. Rinciannya kepada Kepolisian atau Kejaksaan 1072 kasus, kepada Kejaksaan 88 kasus.

Unsur-unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Transaksi Keuangan Mencurigakan pada prinsipnya memiliki unsur-unsur di bawah ini:

1) Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;

2) Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor (Penyedia Jasa Keuangan/Penyedia Barang dan/atau Jasa) sesuai dengan ketentuan Undang-Undang;

3) Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau

4) Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Apabila suatu transaksi keuangan telah memenuhi satu atau lebih dari unsur-unsur di atas maka Penyedia Jasa Keuangan termasuk Bank Umum wajib menetapkannya sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan dan melaporkannya kepada PPATK. Dalam mengidentifikasi apakah suatu transaksi keuangan memenuhi satu atau lebih dari unsur-unsur tersebut di atas, Penyedia Jasa Keuangan dapat menggunakan indikator-indikator Transaksi Keuangan Mencurigakan, sebagaimana terdapat dalam Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan No. 2/4/Kep.PPATK/2003 tentang Pedoman identifikasi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan. Dengan pengaturan Customer Due Dilligence Principle yang rigid sebagaimana yang diamanatkan dalam Rekomendasi FATF dan Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, upaya untuk mencegah dan memberantas penggunaan jasa private banking pada lembaga perbankan sebagai sasaran dan sarana tindak pidana pencucian uang akan dapat terlaksana dengan baik.

Pengaturan customer due dilligence principle sebagai upaya untuk mencegah dan memberantas penggunaan jasa private banking pada lembaga perbankan sebagai sasaran dan sarana tindak pidana pencucian uang tersebar dalam berbagai produk kebijakan, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum, Rekomendasi dari Financial Action Task Force (FATF), dan sebagainya.

DAFTAR BACAAN

BUKU DAN JURNAL:

Agus Raharjo.2013 Cyber Crime-Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Husein, Yunus. 2007. Bunga Anti Pencucian Uang. Bandung: Books Terrace & Librarty.

Irman S. Tb., 2006, Hukum Pembuktian Pencucian Uang, Bandung: Mos Pub. & AYYCCS Group.

Mujahidin, A.M. 2007. Kriminalisasi Pencucian Uang Dan Strategi Pencegahannya. Jurnal Kriminologi. http://www.badilag.net/data/artikel,  diunduh tanggal 26 Mei 2015 pukul 22.36 wib.

Munir Fuady, 2014. Bisnis Kotor -Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Siahaan, NHT.2005.Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sjahdeni, S. Remy, 2004, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta: Grafiti.


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEKUASAAN ORANG TUA (OUDERLIJKE MACHT)

KEADAAN TIDAK HADIR ATAU KETIDAKHADIRAN DALAM HUKUM PERDATA (AFWEZIGHEID)

DOMISILI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA