PENGANTAR ILMU HUKUM BAGIAN 4 : HUBUNGAN ANTARA HUKUM DAN MASYARAKAT

Ubi Societas Ibi Ius (Ada Masyarakat, Ada Hukum)

Ubi Societas Ibi Ius adalah sebuah adegium yang kali pertama diperkenalkan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), seorang filsuf/legislator dan pakar politik kelahiran Roma, Italia. Pandangannya tentang proses interaksi dan pembentukan struktur hukum dalam masyarakat membawanya pada kesimpulan bahwa semua masyarakat, sengaja atau tidak, sepenuhnya mematuhi hukum.

Selama ini mayoritas ahli hukum di banyak negara, termasuk Indonesia, menganut definisi tersebut. Konsep hukum ini masih berlaku sampai sekarang, jika kita memperhatikannya, dan meresap ke dalam dimensi pemikiran dan fisika. Sebagai manusia yang hidup sebagai makhluk sosial (Zoon Politicon), hukum dasar yang menjiwai setiap karya kita.

Ubi Societas Ibi Ius juga berfungsi sebagai peringatan dini bahwa dengan berani melakukan pelanggaran etika hanya dapat menyebabkan konfrontasi langsung dengan masyarakat, sehingga keadilan dapat ditegakkan di luar jalur formal. Sanksi sosial-moral akan jauh lebih kuat, seperti yang diyakini banyak orang. Untuk itu, kehidupan interaksi antar makhluk sosial perlu dikaji secara holistik, apakah itu hukum universal atau hukum baru yang diterima secara terpadu. Ketika berhadapan satu sama lain, orang seringkali tidak bisa menghindari konflik kepentingan di antara mereka.

Sengketa biasanya melanggar hak satu pihak dan kewajibannya kepada pihak lain, dan dapat mengakibatkan kerugian. Perselisihan semacam itu tidak dapat dibiarkan begitu saja, tetapi jalan hukum diperlukan untuk menyelesaikannya. Untuk menyelesaikan berbagai masalah yang muncul dalam keadaan seperti itu, keberadaan hukum diperlukan. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang hidup dalam masyarakat memiliki berbagai kebutuhan hidup. Kebutuhan sehari-hari terpenuhi secara alami hanya ketika orang berinteraksi satu sama lain. Saling hak dan kewajiban timbul dalam hal ini dan merupakan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak. Dan untuk menjalin hubungan yang diharapkan, diperlukan norma atau peraturan hukum yang disepakati sebagai pedoman untuk mengatur hidup berdampingan.

Masyarakat dan hukum sangat erat kaitannya sehingga mereka adalah dua sisi mata uang yang sama. Terlepas dari kualitasnya, sulit untuk mengatakan bahwa tidak ada keteraturan dalam masyarakat. Keteraturan dalam masyarakat dapat bersumber karena masyarakat mematuhi hukum, tradisi, agama dan sebagainya. Oleh karena itu, masyarakat juga memiliki berbagai norma yang masing-masing berperan dalam membentuk tatanan ini.

Namun, hukum bukanlah satu-satunya institusi yang menciptakan ketertiban sosial. Kehidupan dalam masyarakat yang kurang lebih tertata ditopang oleh adanya keteraturan. Karena keteraturan ini, kehidupan menjadi teratur. Kita dapat melihat bahwa norma-norma yang mendukung setiap tatanan memiliki sifat-sifat yang berbeda. Menurut Satjipto Rahardjo, manusia telah meninggalkan jejak sepanjang sejarah. Sebagai analogi, manusia ingin diikat dan ikatan itu dibuatnya sendiri, namun pada waktu yang sama manusia tersebut berusaha melepaskan diri dari ikatan yang dibuatnya sendiri manakala dirasakan tidak cocok lagi. Hal ini berlaku juha dalam penerapan hukum. Orang menetapkan hukum, mematuhinya (membuat hukum), dan melanggar hukum (melanggar hukum). Melihat pernyataan di atas, kita dapat mengatakan bahwa manusia, dalam hal ini masyarakat, secara sukarela atau tidak mau tunduk pada peraturan yang dibuat sendiri. Regulasi buatan menjadi pedomannya, menentukan perbuatan mana yang boleh dan mana yang boleh/dilarang.

Seperti disebutkan di atas, aturan, atau hukum, dalam arti sebagian buatan manusia dalam bentuk norma yang berisi petunjuk tentang bagaimana berperilaku. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi cerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana masyarakat harus bertindak dan ke mana harus diarahkan. Hukum, oleh karena itu, terutama berisi catatan ide-ide yang dipilih oleh masyarakat dimana mereka hidup. Pikiran seperti itu, misalnya, berbicara tentang konsep keadilan.

Selain itu, perkembangan peraturan tersebut juga ditentukan oleh perkembangan masyarakat itu sendiri. Artinya, aturan disebut baik jika masyarakat menghormati, menghargai, dan mengikuti aturan tersebut. Di sisi lain, suatu peraturan disebut buruk jika masyarakat tidak menghormati atau mentaatinya. Oleh karena itu, masyarakatlah yang menentukan keberlangsungan regulasi tersebut di masa mendatang.

Peraturan dapat diganti atau ditimpa sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Sesuatu yang baru keluar dari regulasi dapat dianggap sudah usang apabila tidak memenuhi perkembangan masyarakat. Harap dicatat bahwa penggantian peraturan ini perlu disesuaikan dengan benar agar dapat memberikan hasil yang baik. Artinya regulasi harus diklarifikasi terlebih dahulu dari sisi sasaran. Peraturan yang tidak jelas atau kabur  tidak boleh ditegakkan karena dapat menyebabkan keresahan masyarakat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEKUASAAN ORANG TUA (OUDERLIJKE MACHT)

KEADAAN TIDAK HADIR ATAU KETIDAKHADIRAN DALAM HUKUM PERDATA (AFWEZIGHEID)

DOMISILI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA