HUBUNGAN HAK ASASI MANUSIA DAN PENAHANAN DI INDONESIA

Hukum acara pidana atau hukum pidana formiil merupakan seperangkat hukum yang mengatur tentang tata cara penegakan hukum pidana materiil. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi pelanggaran hukum pidana materiil, maka penegakan atas hukum materiil menggunakan hukum pidana formal. Dengan kata lain, bahwa hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang bagaimana para penegak hukum serta masyarakat dalam beracara di muka pengadilan.

Berkaitan dengan penegakan hukum tersebut, peran aparat penegak hukum menjadi sangat penting. Hal ini dikarenakan hukum acara pidana melegalkan setiap tindakan-tindakan dari aparat penegak hukum terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang terkadang berkaitan dengan perampasan kemerdekaan. Oleh karena perampasan kemerdekaan sejatinya merupakan pembatasan atas hak asasi manusia, maka tindakan tersebut harus diwujudkan pada suatu aturan yang jelas untuk meminimalisir tindakan-tindakan perampasan kemerdekaan di luar aturan tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi payung hukum untuk melegalkan tindakan-tindakan aparat penegak hukum tersebut dan oleh karena itu, KUHAP dapat dijadikan panduan untuk melaksanakan setiap tindakan aparat penegak hukum yang sebenarnya adalah merampas kemerdekaan manusia. Salah satu tindakan yang merupakan perampasan kemerdekaan tersebut di antaranya adalah penahanan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.

Penahanan berdasarkan Pasal 1 angka 21 KUHAP diartikan sebagai ‘penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini’. Pejabat yang diberikan kewenangan penahanan adalah penyidik, penuntut umum, dan hakim (Pasal 20 KUHAP).

Alasan penahanan meliputi alasan subjektif dan alasan objektif. Yang termasuk ke dalam alasan subjektif adalah; 1) Tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup; 2) Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri; atau 3) Merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21 ayat (1) KUHAP).

Alasan objektif penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Penahanan ada tiga jenis, yaitu penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah, dan penahanan kota. Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan. Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan (Pasal 22). Mengenai lama waktu penahanan, KUHAP membedakan antara tahap penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Penyidik dapat menahan tersangka paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40 hari. Penuntut umum dapat menahan tersangka paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang hingga paling lama 30 hari. Hakim pengadilan negeri dapat menahan terdakwa paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang hingga 60 hari. Hakim pengadilan tinggi dapat menahan terdakwa paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang hingga 60 hari. Hakim mahkamah agung dapat menahan terdakwa paling lama 50 hari dan dapat diperpanjang hingga paling lama 60 hari (Pasal 24, 25, 26, 27 dan Pasal 28).

Dalam konteks hak asasi manusia, Universal Declaration Of Human Rights tanggal 10 Desember 1948, memperinci hak-hak asasi manusia sebagai berikut: “Bahwa tiap orang mempunyai hak untuk hidup, kemerdekaan dan keamanan badan, untuk diakui kepribadiannya menurut hukum, untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah untuk masuk dan keluar wilayah suatu negara, hak untuk mendapat asylum, hak untuk mendapat suatu kebangsaan, hak untuk mendapat milik atas benda, hak untuk bebas dalam mengutarakan pikiran dan perasaan, hak untuk bebas dalam memeluk agama dan mempunyai hak mengeluarkan pendapat, hak untuk berapat dan berkumpul, hak untuk mendapat jaminan sosial, hak untuk mendapat pekerjaan, hak untuk berdagang, hak untuk mendapat pendidikan, hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat, hak untuk menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan.”

UDHR juga mengatur mengenai penahanan terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 UDHR, yakni “Tiada seorang juapun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang.” Sedangkan dalam Pasal 8 UDHR dijelaskan pula bahwa “Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim nasional yang kuasa terhadap tindakan perkosaan hak-hak dasar, yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar negara atau undang-undang.” Hal itu menunjukan bahwa adanya perlindungan Hak Asasi Manusia yang tidak membeda-bedakan antara orang yang satu dengan yang lain, baik antara masyarakat pada umumnya maupun bagi para pelaku tindak pidana.

KUHAP memiliki dua aspek yaitu selain memberikan pengaturan terhadap kewenangan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya, juga melindungi Hak Asasi manusia bagi masyarakat dan para tersangka pelaku tindak pidana. Apabila dalam prosesnya terjadi pelanggaran hak yang dilakukan oleh aparat atau dilaksanakan secara sewenang-wenang, maka tersangka bisa melakukan upaya hukum melalui proses Praperadilan.

Disinilah bukti bagaimana Bangsa Indonesia sangat memahami bahwa penahanan merupakan pembatasan terhadap hak asasi manusia. KUHAP meletakkan secara proporsional antara perlindungan hak asasi manusia dengan kewenangan aparat penegak hukum dengan Praperadilan menjadi upaya hukum bagi tersangka apabila upaya penahanan yang dilakukan terhadapnya dirasa melanggar hukum. Dengan demikian, hak asasi manusia tetap terjaga dalam pelaksaaan penahanan.

BAHAN BACAAN

  1. BUKU DAN ARTIKEL

Amin S.M., Hukum Acara Pidana Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Yayasan LBHI, Jakarta, 1971.

Effendi Masyhur, Dimensi Dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.

Flores Imer, ‘Proportionality in Constitutional and Human Rights Interpretation’, Georgetown Public Law and Legal Theory Research Paper, 2013.

Goh Joel, ‘Proportionality - An Unattainable Ideal in the Criminal Justice System’, Manchester Student Law Review,Vol 2, 2013, hal 44.

Erik Luna, “Punishment Theory, Holism, and the Procedural Conception of Restorative Justice”, Utah Law Review,2003.

Lubis T. Mulya, In search of Human Rights, Legal-Political, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Marpaung Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan), Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

  • PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Jakarta.

  • SUMBER LAIN

UNHCR

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEKUASAAN ORANG TUA (OUDERLIJKE MACHT)

KEADAAN TIDAK HADIR ATAU KETIDAKHADIRAN DALAM HUKUM PERDATA (AFWEZIGHEID)

DOMISILI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA