MANUSIA (NATUURLIJK PERSOON) SEBAGAI SUBJEK HUKUM PERDATA
Berlakunya manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban ( subyek hukum ) terjadi mulai manusia itu dilahirkan dan berakhir pada saat manusia itu meniggal dunia. Jadi setiap manusia yang dilahirkan hidup dan menjadi subyek hukum dan berkaitan dengan itu mempunyai kewenangan hukum. Hak yang diperoleh karena kelahiran ini menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pedata berlaku surut untuk keuntungan dari janin yang belum lahir ( masih berada dalam kandungan ). Hal ini diatur dalam pasal 2 ( i ) Kitab Undang-Undang Hukum Pedata yang berbunyi :
“ Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan apabila kepentingan si anak menghendaki “.
Apakah seorang bayi dapat dianggap mempunyai kemungkinan dapat hidup, bukan persoalan. Asalkan pada waktu dilahirkan dia hidup sudah cukup untuk si bayi memperoleh hak – hak dan kewajiban sebagai subyek hukum. Lain halnya bilamana pada waktu lahir dia langsung meninggal dunia, maka si bayi dianggap tidak pernah ada. Hal ini diatur dalam pasal 2 ( 2 ) Kitab Undang-Undang Hukum Pedata:“ Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada.”
a. Kecakapan
Di atas dikatakan bahwa setiap orang tiada terkecuali sejak dilahirkan merupakan subyek hukum, yang berarti memiliki kewenangan hukum, namun tidak semua orang diperbolehkan bertindak sendiri dalam melaksanakan kewenangan hukumnya. Hanya orang – orang yang mempunyai kecakapan bertindak saja ( bekwaamheid ) menurut hukum saja yang dapat melaksanakan atau mewujudkan hak dan kewajibannya.
Orang yang tidak cakap bertindak ( onbekwaamheid ) menurut hukum tidak dapat melaksanakan atau mewujudkan sendiri hak dan kewajibannya. Ia tidak dapat bertindak sebagai pihak dalam jual – beli, hibah, sewa – menyewa, perkawinan dan lain – lain.
Ada beberapa orang yang digolongkan sebagai orang yang tidak cakap melakukan tindakan hukum, yakni seperti yang dicantumkan dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Pedata. Orang – orang tersebut yaitu :
1. Orang yang belum dewasa.
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan ( curatele ).
3. Orang – orang perempuan ( yang sudah berkeluarga ).
Guna melakukan perbuatan hukum, orang – orang yang tidak cakap bertindak diwakili oleh pengampunya atau kuratornya. Orang – orang yang berada dibawah pengampuan adalah orang dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelapmeskipun kadang – kadang cakap mempergunakan pikirannya atau pemboros.
Ada 2 syarat kumulatif agar seseorang dianggap cakap bertindak menurut hukum. 2 syarat itu adalah :
1. Telah dewasa atau telah cukup umur;
2. Tidak berada di bawah pengampuan ( curatele ).
Mengenai orang yang belum dewasa ( minderjarige ) adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
Ukuran dewasa sampai saat ini menurut hukum yang berlaku di Indonesia adalah berbeda – beda, hal ini disebabkan masih adanya pluralisme hukum yang ada di Indonesia.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seorang laki – laki dapat melangsungkan perkawinan apabila ia telah berusia 19 tahun. Sementara itu seorang perempuan dapat melangsungkan perkawinan apabila ia telah berusi 16 tahun. Hal ini ditegaskan dalam pasal 7 ( 1 ). Mengenai kedewasaan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan sebagai berikut :
Pasal 47 ( 1 ) :
“ Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. ”
Pasal 47 ( 2 ) :
“ Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.”
Kesimpulan yang dapat diambil dari pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini adalah seseorang dianggap dewasa apabila ia telah berusia 18 tahun atau telah melangsungkan perkawinan.
Menurut hukum adat, seseorang yang dianggap dewasa tidak dapat diketemukan angka – angka / umur – umur yang pasti, melainkan dengan tanda – tanda atau peristiwa – peristiwa yang lazimnya bersifat monumental, misalnya perkawinan atau yang telah mempunyai pekerjaan. Menurut penulis keadaan yang demikian adalah menyulitkan bagi kepastian hukum, karena tidak ada batasan yang jelas mengenai berapa usia kedewasaan seseorang.
Batas dewasa menurut hukum Islam juga tidak ditegaskan secara pasti, pada usia keberapa seseorang dianggap telah dewasa. Hanya saja hukum Islam telah memberikan “ penanggalan “ ( tanda ) seseorang telah dapat dikatakan dewasa apabila seorang laki – laki telah mengalami masa akil balig dengan tanda – tanda telah mengalami mimpi indah atau mimpi melakukan persetubuhan sehingga mengeluarkan sperma. Seorang perempuan dianggap telah akil baliq atau dewasa jika ia telah mendapatkan menstruasi atau haid. Kedewasaan di dalam hukum Islam ini lebih dikaitkan dengan kecakapan bertindak untuk melangsungkan perkawinan.
Sehubungan dengan sangat relatifnya seseorang dianggap dewasa oleh hukum Islam dan sulit ditentukan waktunya, maka Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Jo. Keputusan Menteri agama No. 154 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991, menentukan lain. Di dalam pasal 98 ( 1 ) Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa batas usia anak yag mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pedata sendiri mengatur batas usia kedewasaan seseorang adalah apabila orang tersebut mencapai usia 21 tahun maka ia sudah dianggap dewasa. Hal ini secara implisit dapat dilihat dari bunyi pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Pedata.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa seseorang telah dianggap cakap dalam hukum apabila sudah dewasa dan tidak ditaruh dalam pengampuan. Kedewasaan dapat diukur dari dari : usia yang telah mencapai 21 tahun, karena perkawinan dan karena pendewasaan (handelicting)
b. PendewasaanDi samping tolok ukur yang telah disebutkan diatas, masih terdapat satu cara agar seseorang dapat disebut dewasa, yakni dengan cara mengajukan permohonan kepada pengadilan. Cara inilah yang disebut dengan pendewasaan ( Handlichting ). Dimana handelicting ini adalah suatu upaya hukum yang dicapai untuk meniadakan keadaan belum dewasa, baik secara keseluruhan maupun dalam hal – hal tertentu.
Meskipun batas usia dewasa 21 tahun merupakan batas dari seseorang disebut dewasa dan mempunyai kebebasan serta kewenangan bertindak dalam hukum, namun undang – undang masih menetapkanbatasan usia yang lebih rendah dari 21 tahun dan memungkin kan kepada orang yang bersangkutan untuk bertindak sendiri dan menjalankan hak – hak istimewa yang ditetapkan oleh undang – undang.
Misalnya saja adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, wanita harus berusia 16 tahun dan laki – laki berusia 19 tahun.
2. Untuk membuat wasiat / testamen, umur 18 tahun (pasal 897 Kitab Undang-Undang Hukum Pedata).
3. Untuk memberi kesaksian, umur 15 tahun ( pasal 1912 Kitab Undang-Undang Hukum Pedata ).
4. Untuk pengakuan oleh seorang bapak terhadap anak – anak di luar perkawinan, umur 19 tahun (pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum Pedata).
Demikianlah pendeasaan yang diberikan oleh undang – undang kepada subyek hukum manusia guna menjalankan kebebasab dan kewenangan dalam hukum.
c. Pengampuan ( Curatele )
Pengampuan merupakan lawan dari pendewasaan, apabila dalam hal pendewasaan seseorang yang belum mencapai usia dewasa dapat dinyatakan ikut serta dalam melakukan tindakan – tindakan hukum sendiri, maka dalam pengampuan seseorang yang sudah dewasa akan tetapii berada dalam kondisi tertentu, maka harus dinyatakan sama dengan orang yang belum dewasa dalam wewenang bertindak dalam hukum.
Pengampuan diatur dalam pasal 433 s/d 462 Kitab Undang-Undang Hukum Pedata. Orang yang diampu ( diwakili ) disebut dengan curandus, sedangkan bagi orang yang mewakili disebut dengan curatele. Berdasarkan pasal 436 Kitab Undang-Undang Hukum Pedata, yang berkuasa menetapkan pengampuan adalah Pengadilan Negeri dalam daerah hukum berdiamnya orang yang akan diletakkan di bawah pengampuan.
Pengampuan itu mulai berlaku terhitung sejak diucapkannya / diumumkannya putusan pengadilan yang mempuyai kekuatan yang tetap. Pada saat seseorang diletakkan dibawah pengampuan maka kedudukan orang tersebut sama dengan kedudukan orang yang belum dewasa. Segala perbuatan hukum yang dilakukannya adalah dapat dibatalkan.
Mengenai berakhirnya pengampuan, dapat dilihat dari 2 cara yakni :
1. Berakhirnya dalam arti absolut / mutlak.
a. Karena kematian pihak curandus.
b. Apabila dalam suatu keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan pasti dinyatakan bahwa sebab musabab dan alasan – alasan penempatan di bawah pengampuan telah hapus. Proses berakhirnya pengampuan ini sama dengan proses penempatan di bawah pengampuan.
2. Berakhirnya dalam keadaan relatif
a. Karena kematian dari pengampu / curator.
b. Dipecatnya atau dibebas tugaskannya curator.
BAHAN BACAAN
A. Ichsan, Hukum Perdata , PT Pembimbing Masa, Jakarta, 1967.
A. Pitlo, Hukum Perdata, Cetakan Pertama, Alih Bahasa M. Moerasad dari buku aslinya Korte Uitleg van Enige Burgerlijk Rechtelijke
Hoofdstukken-Cetakan ketujuh-1969, Penerbit PT Intermasa, Jakarta, 1977.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,1991
Marhalnis Abdulhay, Hukum Perdata material jilid II Cet 1, Paramita, Jakarta, 1984.
Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Cetakan ke II, Penerbit Alumni, Bandung, 1983.
-----, Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung. Citra Aditya Bakti. 1987
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 1989.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, Rajawali Pres, Jakarta, 2003.
P.N.H. Simanjutak, Hukum Perdata Indonesia, PT Kharisma Putera Utama, Jakarta, 2015.
Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari undang-undang), Mandar Maju, Bandung, 1994
R. Setiawan, Pokok – Pokok Hukum Perikatan, Putra A Badin, Bandung, 1977.
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas – Asas Hukum Perdata, PT Alumni, Bandung. 2006.
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Subekti, R, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1976.
----- Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
Subekti, R, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Pradnya Paramita, Jakarta, 2003.
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cetakan V, PT. Penerbit Balai Buku Ikhtiar, Jakarta, 1959.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Cetakan Kesembilan, CV.Mandar Maju, Bandung, 2011.
-----, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur, Bandung, 1981.
Komentar
Posting Komentar