LATAR BELAKANG MUNCULNYA KONVENSI INTERNASIONAL TERKAIT LINGKUNGAN

Kesadaran global/Internasional akan lingkungan hidup ditandai dengan diperingatinya Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni. Peringatan ini dimaksudkan untuk menggugah kesadaran dan kepedulian manusia dan masyarakat pada lingkungan hidup yang cenderung semakin rusak. Hari Lingkungan Hidup Sedunia pertama kali dicetuskan pada tahun 1972 sebagai rangkaian kegiatan lingkungan dari dua tahun sebelumnya ketika seorang senator Amerika Serikat, Gaylord Nelson menyaksikan betapa kotor dan cemarnya bumi oleh ulah manusia. Selanjutnya, ia mengambil prakarsa bersama LSM untuk mencurahkan satu hari bagi usaha penyelamatan bumi dari kerusakan. Dari Konferensi PBB mengenai lingkungan hidup yang diselanggarakan pada tanggal 5 Juni 1972 di Stockholm, Swedia. Tanggal 5 Juni tersebut di tetapkan sebagai hari Lingkungan Hidup Sedunia.Warga atau masyarakat dapat berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kesempatan berperan serta itu dapat dilakukan melalui cara sebagai berikut: 

1. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan. 

2. Menumbuhkankembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat. 

3. Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial. 

4. Memberikan saran dan pendapat. 

5. Menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan. 

Hasil konferensi ini lazim disebut dengan Stockholm declaration, yang melahirkan 26 prinsip/asas dimana Prinsip I Deklarasi Stockholm 1972 : di katakan “Setiap manusia memiliki hak fundamental atas lingkungan yang sehat dan layak bagi kehidupan”dan “Setiap manusia bertanggung jawab untuk melindungi lingkungan demi kepentingan generasi kini dan mendatang”. Namun demikian hasil konferensi Stockholm tidak efektif karena karusakan lingkugan masih terus terjadi baik di Negara maju maupun dunia ketiga, hal ini membuat keprihatinan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kemudian membentuk apa yang dinamakan dengan World Commission on Environment and Development yang pada akhirnya melahirkan bebrapa konsep salah satunya adalah Sustaineble Development dimana dikatakan berbagai pengembangan sektoral, seperti : pertanian, kehutanan, industry, energy, perikanan, investasi, perdagangan, bantuan ekonomi, memerlukan sumber daya alam yang harus dilestarikan kemampuannya untuk menunjang proses pembangunan secara berkelanjutan.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perhatian terhadap masalah lingkungan mulai mendapat perhatian yang serius semenjak dilangsungkannya “United Nations Conference on the Human Environment” (Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup) di Stockholm tanggal 5 – 12 Juni 1972. Tanggal 5 Juni kemudian disepakati sebagai Hari Lingkungan Hidup sedunia. Konferensi yang diselenggarakan oleh PBB adalah merupakan realisasi daripada usul Swedia dalam sidang Economic and Social Council (ECOSOC) tanggal 28 Mei 1968 yang telah menghasilkan suatu “Declaration of the Human Environment” beserta 109 Rekomendasi dapat dipandang sebagai pembuka dasawarsa lingkungan.

Untuk merealisir cita-cita yang telah dirumuskan dalam sidang badan PBB itu telah pula dibentuk United Nations on Environmental Programe (UNEP) yang berkedudukan di Nairobi (Kenya). 

Dasawarsa kedua lingkungan dimulai dengan diselenggarakannya United Conference on the Human Environment pada tanggal 5 Juni 1982 di Nairobi, sebagai konperensi dunia PBB yang kedua tentang lingkungan hidup manusia. Apabila Deklarasi Stockholm lahir di negara maju. Deklarasi Nairobi lahir di negara berkembang dan dipelopori oleh semangat tinggi kebanyakan negara-negara berkembang untuk membangun tanpa kerusakan lingkungan. Perbedaan menyolok sidang Nairobi dengan sidang Stockholm sepuluh tahun lalu ialah tampilnya semangat dan kemauan politik negara berkembang untuk mengembangkan lingkungan hidup dan meninggalkan di belakang banyak negara maju yang sekarang mengabaikan lingkungan hidup. 

Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.

Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila Negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden RusiaVladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.

Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat.Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat mencapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.

Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.

Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem dimana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan.Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negaranegara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.

Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Ia dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret1998 dan ditutup pada 15 Maret1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata – rata cuaca global antara 0,02 °C dan 0,28 °C pada tahun 2050.

BAHAN BACAAN

Abdurrahman. 1983. Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung: PT. Alumni Bandung.
Absori. 2000. Penegakan Hukum Lingkungan & Antisipasi dalam Era Perdagangan Bebas. Malang: Muhammadiyah University Press.
Amsyari, Fuad. 1981. Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Bandung: Ghalia Indonesia.
Hardjasoemantri, Koesnadi. 1999. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Rangkuti, Siti Sundari.1996. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional. Surabaya: Airlangga University Press.
R.M. Gatot P. Soemartono. 1996. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Santosa, Mas Achmad.1995. Peran Serta Masyarakat dalam Pengendalian Dampak Lingkungan. Jakarta: Indonesian Centre for Environmental Law.
Siahaan, N.H.T. 2002. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEKUASAAN ORANG TUA (OUDERLIJKE MACHT)

KEADAAN TIDAK HADIR ATAU KETIDAKHADIRAN DALAM HUKUM PERDATA (AFWEZIGHEID)

DOMISILI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA