KEWENANGAN DAN KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

Kewenangan Pengadilan Pajak

Kewenangan Pengadilan Pajak diatur dalam Pasal 31 dan Pasal 32 UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, yaitu :

1. Dalam hal banding Pengadilan Pajak hanya berwenang memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Pengadilan Pajak dapat pula memeriksa dan memutus permohonan banding atas keputusan/ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sepanjang peraturan perundang-undangan yang terkait mengatur demikian, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 31 Ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002;

2. Dalam hal gugatan, Pengadilan Pajak berwenang memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak, atau keputusan pembetulan, atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 Tentang perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan

3. Pengadilan Pajak berwenang mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.

Berdasarkan ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32 UU No. 14 Tahun 2002 di atas dapat disimpulkan bahwa, kewenangan Pengadilan Pajak meliputi kewenangan dalam penyelesaian sengketa pajak (yaitu berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak dalam hal banding dan gugatan) dan kewenangan dalam mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa pada Pengadilan Pajak. 

Selanjutnya dala hal hal gugatan, menurut Pasal 31 Ayat (3) UU No. 14 Tahun 2002, Pengadilan Pajak berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU No. 16 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2007 dan keputusan lainnya menurut peraturan perpajakan yang berlaku. Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU No. 28 Tahun 2007 yang dapat menjadi obyek sengketa dalam hal gugatan, yaitu ;

1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;

2. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;

3. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 Ayat (1) dan Pasal 26; dan

4. Penerbitan surat ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Kedudukan Pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan Di Indonesia. 

Dalam Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak disebutkan bahwa, “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.” Kekuasaan kehakiman dalam ketentuan diatas menegaskan bahwa Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan melaksanakan fungsi dan wewenangnya guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 (Perubahan Ketiga), dan juga untuk menegaskan bahwa Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan administrasi murni dimana lembaga ini independen, bukan merupakan bagian dari salah satu pihak yang bersengketa. Dengan demikian Pengadilan Pajak menurut Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 diatas berkedudukan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman khususnya dibidang perpajakan.

Secara normatif, Pengadilan Pajak sebagai pelaku kekuasaan kehakiman berada dalam salah satu lingkungan peradilan yang telah ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 (Perubahan Ketiga) Jo. Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004. Apabila ditinjau dari karakteristik dan substansi sengketa yang diselesaikan oleh Pengadilan Pajak yang mengandung unsur publik, maka lebih tepat jika Pengadilan Pajak ditempatkan sebagai bagian khusus dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. 

Dalam UU No. 14 Tahun 2002, baik dalam pasal-pasal maupun penjelasannya, tidak ditemukan ketentuan yang mewajibkan atau menyatakan secara jelas keberadaan Pengadilan Pajak dalam lingkungan peradilan, sedangkan Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2002 hanya menyebutkan tentang pembinaan teknis peradilan dalam Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan finansialnya dilakukan oleh Departemen Keuangan.

Kecenderungan Pengadilan Pajak berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, adalah karena sifat perselisihan (sengketa) dan sifat para pihaknya. Dilihat dari subyek sengketa, keduanya (Pengadilan Pajak dan Peradilan Tata Usaha Negara) mempertemukan unsur pemerintah dan unsur rakyat sebagai perorangan, dimana posisi pemerintah sebagai tergugat/terbanding yang keputusannya dipersoalkan. Dan dilihat dari obyek sengketa, keduanya mempermasalahkan tentang keputusan konkrit (ketetapan/beschikking) dari lembaga pemerintah yang ditujukan kepada individu, dimana ketetapan tersebut dianggap merugikan rakyat sebagai perorangan. 

Kedudukan Pengadilan Pajak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak dibarengi dengan keberadaan atau eksistensi Pengadilan Pajak itu sendiri. Hal ini karena keberlakuan Pengadilan Pajak tidak murni berdasar kepada UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman, akan tetapi masih mengacu pada UU No. 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan  sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. 

Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas maka dilihat dari kedudukannya, Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan khusus di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara,  namun demikian tidak murni sebagai badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, karena terdapat tugas-tugas eksekutif yang dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak.


BAHAN BACAAN

BUKU

Bahari U.  Pengantar Hukum Pajak, Jakarta:  Raja Grafindo Persada, 2001.

Bachasan Mustafa, Pokok-pokok Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1979.

Bohari, Pengantar Singkat Hukum Pajak,  Jakarta :  Rajawali Persada, 1995.

Erly Suandy, Hukum Pajak Salemba Empat, Yogyakarta, 2000.

Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, cet. 1, Bandung: Refika Aditama, 2005.

Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta :  Raja Grafindo Persada, 2005.

Munawir, Perpajakan, Liberty, Yogyakarta, 1992.

Rochmat Sumitro, Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung : Eresco, 1990.

Rochmat Soemitro, Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di Indonesia, Bandung:  Eresco, 1964.

Saadudin Ibrahim dan Pranoto K, Pajak Pertambahan Nilai, Jaya Prasada, Jakarta, 1984.

Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, 2003, Refika Aditama: Bandung

Sudarsono,  Kamus Hukum, cetakan pertama, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Andi, Yogyakarta, 2002,

Triyani Budianto, Makalah Seminar tax-ina, 30 April 2005, http://lovetya.wordpress.com/2008/05/19.

Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat. Jakarta, 2001.

Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak (Menurut UU No. 14 Tahun 22 Tentang Pengadilan Pajak), cet. 1, (Bandung: Refika Aditama, 2006).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Undang-Undang Nomor  28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEKUASAAN ORANG TUA (OUDERLIJKE MACHT)

KEADAAN TIDAK HADIR ATAU KETIDAKHADIRAN DALAM HUKUM PERDATA (AFWEZIGHEID)

DOMISILI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA