KEADAAN TIDAK HADIR ATAU KETIDAKHADIRAN DALAM HUKUM PERDATA (AFWEZIGHEID)

Keadaan tak hadir merupakan hal khusus dalam dunia hukum perdata. Seseorang dikatakan dalam keadaan tak hadir apabila meninggalkan tempat kediamannya sehingga tidak melaksanakan hak – haknya dan menunaikan kewajibannya. Jadi seseorang yang meninggalkan tempat yang agak lama, tetapi telah menunjuk seseorang lain untuk memelihara kepentingannya ( melaksanakan hak dan menunaikan kewajibannya ), tidak dapat dinyatakan sebagai tidak hadir.

 Agar dapat dinyatakan dalam keadaan tidak hadir, harus memenuhi unsur – unsur yang ditetapkan dalam pasal 463 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai dasar dari ketidakhadiran, yakni :

1.    Meninggalkan tempat kediaman.

2.    Tanpa memberi kuasa kepada orang lain untuk mewakilinya.

3.    Tidak menunjuk atau memberi kuasa pada orang lain untuk mengatur pengelolaan kepentingannya.

4.    Bilamana pemberian kuasa telah gugur.

5.    Bilamana timbul keadaan yang memaksa untuk menanggulangi pengurusan dari harta benda atau seluruhnya atau untuk sebagian.

6.    Untuk mengangkat seorang wakil, maka harus diadakan tindakan – tindakan hukum untuk mengisi kekosongan sebagai akibat ketidakhadiran tersebut.

Apabila memenuhi unsur – unsur tersebut, maka seseorang dapat dinyatakan dalam keadaan tak hadir, sehingga perlu ditunjuk seorang wakil yang akan melaksanakan hak dan menunaikan kewajiban yang bersangkutan. Pihak – pihak yang berhak untuk minta diadakan penunjukkan wakil adalah :

1.    Orang – orang yang berkepentingan, misalnya kreditur.

2.    Pihak kejaksaan.

3.    Ditetapkan sendiri oleh Pengadilan Negeri karena jabatannya.

Sedangkan pihak yang dapat ditunjuk sebagai wakil adalah :

1.    Balai Harta Peninggalan ( BHP ).

2.    Keluarga sedarah atau semenda yang terdekat atau suami / istri dari orang yang “ tidak hadir “, bilaman harta kekayaaan mempunyai nilai yang tidak berarti.

Kewajiban BHP sebagai wakil orang yang tidak hadir adalah :

1.    Mengadakan penyegelan bilamana diperlukan.

2.    Mengadakan pencatatan dari pada barang – barang yang dipercayakan untuk disimpan / diurus.

3.    Membuat laporan dan pertanggungjawaban tahunan kepada fihak kejaksaan.

Sedangkan kewajiban pihak keluarga sedarah atau semenda terdekat atau suami / istri dari orang yang tidak hadir apabila ditunjuk sebagai wakil adalah untuk pada waktunya menyerahkan harta benda yang ditinggalkan atau nilainya dalam bentuk uang kepada pemiliknya.

Tahapan – tahapan tindakan hukum untuk mengisi kekosongan yang disebabkan oleh karena tidak hadirnya seorang adalah :

1.    Menetapkan ketidakhadiran dan menunjuk wakil yang mewakili dan memelihara kepentingan orang yang tidak hadir, yang meliputi kepentingan harta kebendaan dan kepentingan – kepentingan mengenai pribadinya, misalnya berti9ndak sebagai wakil dalam suatu proses perceraian. Tindakan ini merupakan sementara bila terjadi ketidakhadiran.

2.    Penetapan tentang dianggapnya seseorang telah meninggal dunia.

3.    Menetapkan pewarisan secara definitif.

Tindakan penetapan tentang dianggapnya seseorang telah meninggal dunia, dapat diambil baik dalam hal ini telah atau belum diperintahkan tindakan – tindakan sementara, dan cukup kalau sudah beberapa lama ia tidak pulang.

Tentang waktu berapa lama itu ditentukan dalam pasal 467 dan pasal 470 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagai berikut :

1.    Lima tahun sejak keberangkatan dari tempat tinggal itu, atau lima tahun setelah diperoleh kabar terakhir, bila yang tak hadir tidak mengangkat seorang kuasa untuk mengurusi harta kekayaannya atau ia tidak mengatur urusan – urusannya dan kepentingannya.

2.    Sepuluh tahun bila yang tidak hadir meninggalkan kuasa atau mengatur pengurusannya.

3.    Satu tahun bila yang tidak hadir bepergian ke tempat yang berbahaya, atau merupakan penumpang kapal yang dinyatakan hilang atau mengalami kecelakaan.

Sebelum diambil keputusan Pengadilan tentang dianggapnya seseorang telah meninggal dunia, maka terlebih dahulu harus diadakan 3 kali pemanggilan orang yang bersangkutan. Pemanggilan – pemanggilan tersebut dicantumkan di tempat yang ditetapkan khusus untuk pengumuman – pengumuman di Kantor Pengadilan dan Kantor Pemerintah daerah dari tempat tinggal terkhir orang yang tidak hadir, serta diumumkan dalam surat kabar. Agar khalayak ramai mengetahui adanya keputusan Pengadilan tentang dianggapnya seseorang telah meninggal dunia, maka keputusan itu harus diumumkan dalam surat – surat kabar yang dahulu telah memuat berita panggilan. Akibat dari keterangan asumsi kematian :

1.    Hak – hak orang yang tidak hadir itu beralih secara sementara kepada ahli warisnya.

2.    Untuk menuntut dari pengurus harta benda ( BHP ) penyerahan barang – barang dan perincian perhitungan serta pertanggungjawaban.

3.    Kepada suami atau istri yang ditinggalkan dan telah kawin dalam perkawinan harta perkawinan bersama atau dengan perjanjian kawin diberi dua pilihan :

a.    Untuk meneruskan keadaan yang telah ada untuk waktu yang tertentu ( paling lama 10 tahun ).

b.    Untuk langsung mengadakan pembagian harta kekayaan.

Hak – hak orang yang tidak hadir akan beralih kepada ahjli waris secara definif / pasti sesudah 30 tahun dianggapnya seseorang telah meninggal dunia itu tercantum dalam keputusan Pengadilan atau juga sebelum itu telah lewat 100 tahun sejak kelahiran orang yang tidak hadir itu.

BAHAN BACAAN

A. Ichsan, Hukum Perdata , PT Pembimbing Masa, Jakarta, 1967.

A. Pitlo, Hukum Perdata, Cetakan Pertama, Alih Bahasa M. Moerasad dari buku aslinya Korte Uitleg van Enige Burgerlijk Rechtelijke

Hoofdstukken-Cetakan ketujuh-1969, Penerbit PT Intermasa, Jakarta, 1977.

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,1991

Marhalnis Abdulhay, Hukum Perdata material jilid II Cet 1, Paramita, Jakarta, 1984.

Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Cetakan ke II, Penerbit Alumni, Bandung, 1983.

-----, Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung. Citra Aditya Bakti. 1987

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 1989.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, Rajawali Pres, Jakarta, 2003.

P.N.H. Simanjutak, Hukum Perdata Indonesia, PT Kharisma Putera Utama, Jakarta, 2015.

Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari undang-undang), Mandar Maju, Bandung, 1994

R. Setiawan, Pokok – Pokok Hukum Perikatan, Putra A Badin, Bandung, 1977.

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas – Asas Hukum Perdata, PT Alumni, Bandung. 2006.

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008

Subekti, R,  Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1976.

----- Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

Subekti, R, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Pradnya Paramita, Jakarta, 2003.

Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cetakan V, PT. Penerbit Balai Buku Ikhtiar, Jakarta, 1959.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Cetakan Kesembilan, CV.Mandar Maju, Bandung, 2011.

-----, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur, Bandung, 1981.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEKUASAAN ORANG TUA (OUDERLIJKE MACHT)

DOMISILI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA