HAK KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

 Hukum pidana di Indonesia yang berorientasi terhadap pelaku tindak pidana, karena Negara telah mengambil alih seluruh reaksi yang dapat dilakukan korban terhadap orang yang telah merugikan atau menderitakan dirinya. Kerugian dan penderitaan korban telah diabstraktir oleh Negara dan diwujudkan dalam bentuk ancaman sanksi, pidana atau tindakan, terhadap pelakunya. 

KUHAP meletakkan dasar humanisme didalamnya sehingga tujuan utama yang hendak dicapai bukanlah ketertiban dan kepastian hukum tetapi perlindungan atas hak asasi seorang tersangka atau terdakwa. Perlindungan hak asasi seorang tersangka atau terdakwa diharapkan dilaksanakan pada setiap tingkat pemeriksaan perkara pidana yaitu mulai dari seorang tersangka ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili di pengadilan. Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 juga terkandung harapan untuk memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara pidana.  

Dalam konteks inilah terdapat ketidakadilan dalam pengaturan perlindungan hak-hak subjek hukum di Indonesia, khususnya dalam sistem peradilan pidana. Hal ini berarti bahwa di dalam sistem peradilan pidana Indonesia telah terjadi ketidakseimbangan antara hak dan kepentingan korban tindak pidana dengan pelaku tindak pidana. Pengutamaan perlindungan terhadap hak-hak pelaku tindak pidana daripada hak-hak korban merupakan tindakan yang diskriminatif dan bertentangan dengan semangat keadilan yang terkandung didalam konstitusi negara ini.

Pengutamaan perlindungan terhadap hak-hak pelaku tindak pidana daripada hak-hak korban menunjukkan bahwa negara telah mengabaikan hak dan kepentingan korban. Terabaikannya hak dan kepentingan korban tindak pidana pada tataran normatif, pada gilirannya membawa akibat pada terabaikannya hak dan kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme sistem peradilan pidana. oleh karena itu, sangat sulit bagi korban tindak pidana, yang hanya berkedudukan sebagai saksi, untuk menyuarakan aspirasi mengenai hak dan kepentingannya sebagai korban yang telah menderita kerugian akibat perbuatan pelaku tindak pidana.

Hal ini dapat dicontohkan pada kasus pemerkosaan. Pelaku pemerkosaan dihadapkan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun pelaku pemerkosaan telah dijatuhi hukuman, keadaan korban akan tetap sama. Korban pemerkosaan tetap dalam penderitaan batin. Hal ini dikarenakan korban hanya diposisikan sebagai saksi sehingga korban tidak dapat mengungkapkan hak dan kepentingannya sebagai korban yang telah menderita kerugian akibat pelaku tersebut.

Ini merupakan salah satu contoh dari sekian banyak kasus yang terjadi, sudah dapat kita bayangkan begitu menderitanya korban baik secara psikis maupun fisik sebagai akibat perbuatan pelaku, penderitaan yang dialami korban mungkin sangat sulit untuk diperbaiki seperti sebelum terjadinya kejahatan itu sendiri, hal inilah seharusnya menjadi perhatian penting bagi negara dalam memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan, begitu pentingnya peran negara dalam upaya memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan yang selama ini terabaikan, dalam proses peradilan pidana selama ini terlalu banyak perhatian pemerintah terhadap pelaku kejahatan, hak-hak pelaku kejahatan selalu dikedepankan, sementara hak-hak korban kejahatan menjadi tidak jelas dan tidak ada kepastian hukum atas perlindungan dirinya, keluarga maupun harta benda.

Dari contoh kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan pidana yang dilaksanakan Indonesia saat ini tidak mampu memenuhi rasa keadilan korban tindak pidana. Sistem peradilan pidana yang berorientasi pada pelaku tindak pidana merupakan sebuah ironi ketika Bangsa Indonesia mengikrarkan diri untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Dalam praktek peradilan pidana di Indonesia kepentingan korban yang meliputi kerugian dan penderitaan atas tindak pidana yang dialami, seringkali kurang diperhatikan. Korban kejahatan ditempatkan hanya sebagai alat bukti  yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil.  Hal ini dikarenakan secara teoritis dan praktik dalam sistem peradilan pidana Indonesia kepentingan korban kejahatan diwakilkan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai bagian dari perlindungan masyarakat sesuai teori kontrak sosial (social contract argument) dan teori solidaritas sosial (social solidary argument). Adanya gagasan mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat yang berlandaskan pada komitmen kontrak sosial (social contract argument) dan solidaritas sosial (social solidary argument) tersebut menjadikan masyarakat dan Negara bertanggung jawab dan berkewajiban secara moral untuk melindungi warganya, khususnya mereka yang mengalami musiba sebagai korban. 

Kepentingan korban yang telah diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum, dalam upaya menuntut pelaku tindak pidana, sudah dianggap sebagai upaya perlindungan hukum bagi korban serta masyarakat luas. Padahal dalam realitasnya kerugian yang dialami korban terabaikan. Kemungkinan memberikan ganti rugi kepada korban sebenarnya dapat didasarkan pada KUHP dan KUHAP. Di dalam KUHP dasar hukum untuk memberikan ganti rugi diatur dalam Pasal 14 c, sedangkan KUHAP dasar hukum yang dapat digunakan untuk menmberikan ganti rugi adalah Pasal 98 sampai dengan 101. Namun upaya perlindungan hukum bagi korban yang diatur dalam KUHP maupun KUHAP dirasa tidak implementatif karena kurang menjamin pemulihan atas penderitaan yang dialami korban tindak pidana dan sangat jarang korban tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi atas penderitaan yang telah dialami.

Dalam suatu tindak pidana korban adalah pihak yang dirugikan oleh pelaku kejahatan, baik materil maupun inmateril. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologi korban tersebut, belum lagi pada proses peradilan yang rumit membuat korban menjadi pihak yang sangat dirugikan terhadap pelaku kejahatan.  Pihak korban adalah mereka yang menderita fisik, mental sosial, sebagai akibat tindakan jahat mereka yang mau memenuhi kepentingan diri sendiri atau pihak yang menderita.  

Kedudukan korban dalam praktek hukum acara pidana relatif kurang diperhatikan karena ketentuan hukum Indonesia masih bertumpu pada perlindungan bagi pelaku (offender orientied). Hal ini dapat dibuktikan pada KUHAP yang belum mengatur secara langsung hak korban untuk melakukan upaya hukum dalam praktek hukum acara pidana berbeda dengan pelaku tindak pidana dalam pasal 50 sampai 68 KUHAP sudah diatur hak untuk melakukan upaya hukum yang boleh dilakukan tersangka dalam KUHAP sehingga kedudukan korban dalam praktek hukum acara pidana kurang diberikannya akses untuk melakukan upaya hukum yang seimbang dengan pelaku tindak pidana karena belum diatur dalam KUHAP. 

Di Indonesia, Pancasila bukan hanya sebagai ideologi negara, tetapi juga landasan hidup bangsa Indonesia. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam sila kelima Pancasila merupakan bagian dari cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus menjadi kepribadian rakyat Indonesia. Hal ini berarti bahwa keadilan sosial bukan hanya  merupakan sesuatu yang ideal dicita-citakan oleh semua rakyat, tetapi telah mendarah daging dalam diri bangsa Indonesia, yang bahkan dirumuskan dengan jelas dalam dasar negara. Dalam konteks keadilan sosial, Hukum tidak hanya harus mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan, ketertiban, dan penegakan hukum, tetapi juga harus menemukan keseimbangan antara korban dan pelaku.

Posisi korban dalam praktek hukum acara pidana yang relatif kurang diperhatikan karena hukum Indonesia masih didasarkan pada perlindungan pelaku (Offender orientied). Dalam konteks ini ada ketidakadilan dalam regulasi perlindungan hak-hak korban di Indonesia, esspecially dalam sistem peradilan pidana. Ini berarti bahwa dalam sistem peradilan pidana Indonesia memiliki ketidakseimbangan antara hak dan kepentingan korban kejahatan dengan kejahatan dan pelaku. Bahkan, Sebuah pengabaian hak-hak dan kepentingan korban kejahatan di normatif akan membawa akibat pengabaian hak-hak dan kepentingan korban dalam proses penyelesaian kasus pidana melalui mekanisme sistem peradilan pidana.

Selain itu, penyelesaian perkara pidana sebagaimana dalam sistem peradilan pidana yang merujuk pada KUHAP tidak memberikan sebuah jaminan adanya kerjasama yang mencakup semua pihak yang berkepentingan. Dengan hanya memberikan tiga hak kepada korban dalam sistem peradilan pidana, maka secara otomatis daya tawar dari korban akan lemah. Dengan demikian, posisi kepentingan korban dalam sistem peradilan pidana menjadi lebih rendah daripada posisi kepentingan pelaku, walaupun sejatinya posisi kepentingan korban telah dilaksanakan oleh negara. Oleh karena itu, pengaturan mengenai hak korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana saat ini tidak mendukung upaya yang dilakukan melalui proses kerjasama yang mencakup semua pihak yang berkepentingan.

Hal ini seharusnya menjadi perhatian penting bagi negara untuk memberikan perlindungan kepada korban kejahatan, sehingga pentingnya peran negara dalam upaya untuk memberikan perlindungan kepada korban kejahatan yang telah diabaikan, dalam proses peradilan pidana telah terlalu banyak perhatian pemerintah kepada pelaku, sementara hak-hak korban kejahatan itu tidak jelas dan tidak ada kepastian hukum tentang perlindungan diri, keluarga dan harta benda. Dengan demikian, pengaturan mengenai hak korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana saat ini tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia.

BAHAN BACAAN

Andi Hamzah. 1986, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta.

------------------. 1986. Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia, Dari Retribusi Ke Reformasi, Jakarta: Pradnya Paramita.

Arif Gosita. 2009. Masalah Korban Kejahatan, Cetakan Pertama. Jakarta: Universitas Trisakti.

Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika.

Carolyn Hoyle and Richard Young. 2002. “New Vision of Crime Victims”, Center for Criminological Research, University of Oxford.

DS. Dewi. 2008. Restorative Justice, Diversionary Schemes And Special Children’s Courts In Indonesia. Jakarta: Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

E. Utrecht. 1994. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

G. Widiartana.. 2009 Viktimologi: Prespektif Korban dalam Penaggulangan Kejahatan, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

H.R. Abdussalam.2010. Victimology, Jakarta: PTIK.

Hasanudin, Yanggo, Abbas, Arifin, Syaifuddin, Azharuddin, Catur, Dan Thamrin. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru.

Howard Zehr. 1990. Changing Lenses : A New Focus For Crime And Justice. Waterloo: Herald Press.

Ida Bagus Paramaningrat Manuaba. 2013. Hak Untuk Melakukan Upaya Hukum Oleh Korban Kejahatan Dikaji Dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia. Denpasar: Universitas Udayana.

Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Nanik Widayanti Dan Yulius Waskita. 1987. Kejahatan Dalam Masyarakat Dan Cara Pencegahannya. Jakarta: Bina Aksara.

Romli Atmasasmita. 2011. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana.

Sidik Sunaryo. 2005. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang: UMM Press.

Sunarso, Siswanto. 2012. Viktomologi Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Syarif Fadillah Chaerudin.2004. Korban Kejahatan dalam Prespektif Viktimologi dan Hukum Islam, Jakarta : Ghalia Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEKUASAAN ORANG TUA (OUDERLIJKE MACHT)

KEADAAN TIDAK HADIR ATAU KETIDAKHADIRAN DALAM HUKUM PERDATA (AFWEZIGHEID)

DOMISILI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA