HUBUNGAN HAK ASASI MANUSIA DAN PENANGKAPAN DI INDONESIA
Pada prinsipnya, Hak asasi manusia mengatur hubungan antara individu dan negara. Hal ini berarti bahwa negara menjamin dan melindungi individu dengan segala hak yang melekat pada dirinya sebagai manusia yang bermartabat, termasuk negara. Hak asasi manusia disepakati sebagai hukum internasional dan dapat menjadi standar dan pedoman yang kuat tentang bagaimana negara memperlakukan individu di dalam wilayah mereka. Dengan kata lain, hak asasi manusia memberikan jaminan moral dan sosial yang mengharuskan individu untuk mengontrol dan mengatur pelaksanaan kekuasaan negara atas individu, untuk menjamin kebebasan individu untuk negara, dan untuk meminta negara untuk memenuhi kebutuhan dasar individu serta jaminan hukum kepada individu dalam lingkup tanggung jawab mereka. Di sisi lain, negara menjadi pihak yang memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia yang hidup dalam yurisdiksinya.
Disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mulai berlaku dua tahun setelah disahkan dilatarbelakangi oleh pertanyaan utama terkait perlunya perlindungan hak asasi manusia atas pelaku kejahatan seiring dengan sering dilanggarnya hak terpidana oleh aparat penegak hukum. Rendahnya perlindungan HAM terhadap tersangka dan terdakwa yang berhadapan dengan berbagai aparat penegak hukum berusaha diluruskan oleh KUHAP.
Isi KUHAP erat kaitannya dengan bagaimana negara menghormati dan melindungi hak asasi tersangka atau terdakwa. Uraian yang cukup lengkap tentang hak tersangka dan terdakwa dalam KUHAP menandai masuknya rezim HAM ke dalam KUHAP. Segala tindakan yang mempengaruhi hak asasi manusia oleh aparat penegak hukum, baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di sidang pengadilan, sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia seperti legalitas dan proporsionalitas. Kegagalan untuk mengikuti prinsip-prinsip ini dapat melanggar hak asasi manusia tersangka atau terdakwa.
Pasal 1 angka 20 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mendefinisikan penangkapan sebagai suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan definisi tersebut, terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:
- Pejabat yang diberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan. KUHAP hanya memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penangkapan. Tapi untuk kepentingan penyelidikan, penyidik dapat memerintahkan penyelidik untuk melakukan penangkapan (Pasal 16 ayat (1) KUHAP). Jadi, kewenangan penyelidik untuk melakukan penangkapan hanya dalam tahap penyelidikan dan itu atas perintah penyidik. Jika tidak ada perintah oleh penyidik, penyelidik tidak berwenang melakukan penangkapan.
- Alasan penangkapan. Berdasarkan definisi penangkapan di atas, penangkapan diperbolehkan jika memang ‘terdapat cukup bukti’. Dengan mengacu kepada Pasal 17 KUHAP, frase ini dimaknai sebagai ‘seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup’. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup itu, sehingga dalam praktik hal itu diserahkan sepenuhnya kepada penyidik. Namun, apabila dilakukan penafsiran konsisten, dapatlah digunakan pengertian sebagaimana yang terkandung dalam putusan perkara nomor 21/PUU-XII/2014 Mahkamah menyatakan frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” yang tertuang dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Hal ini ditujukan agar selain meminimalisir subjektifitas penyidik atau penyelidik dalam melakukan penangkapan, penangkapan yang dilakukan penyidik agar senantiasa memperhatikan dan menghormati hak asasi manusia tersangka/terdakwa.
- Tata cara penangkapan. Penyidik atau penyelidik yang melakukan penangkapan memperlihatkan surat tugas, memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Jika tertangkap tangan, surat perintah penangkapan tidak diperlukan. Tapi, penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat (Pasal 18).
- Jangka waktu penangkapan. Pasal 17 KUHAP menyatakan bahwa penangkapan dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. Hal ini berarti bahwa penyidik atau penyelidik dapat menangkap seseorang selama kurang dari 24 jam, tetapi tidak boleh lebih dari 24 jam. Penangkapan yang dilakukan melebihi 24 jam harus dinyatakan batal demi hukum dan melanggar hak asasi manusia. Namun, tidak tertutup kemungkinan jangka waktu penangkapan ini lebih dari satu hari apabila ditentukan lain dalam undang-undang, seperti dalam tindak pidana narkotika.
Dalam konteks hak asasi manusia, Universal Declaration Of Human Rights tanggal 10 Desember 1948, memperinci hak-hak asasi manusia sebagai berikut: “Bahwa tiap orang mempunyai hak untuk hidup, kemerdekaan dan keamanan badan, untuk diakui kepribadiannya menurut hukum, untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah untuk masuk dan keluar wilayah suatu negara, hak untuk mendapat asylum, hak untuk mendapat suatu kebangsaan, hak untuk mendapat milik atas benda, hak untuk bebas dalam mengutarakan pikiran dan perasaan, hak untuk bebas dalam memeluk agama dan mempunyai hak mengeluarkan pendapat, hak untuk berapat dan berkumpul, hak untuk mendapat jaminan sosial, hak untuk mendapat pekerjaan, hak untuk berdagang, hak untuk mendapat pendidikan, hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat, hak untuk menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan.”
UDHR juga mengatur mengenai penangkapan terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 UDHR, yakni “Tiada seorang juapun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang.” Sedangkan dalam Pasal 8 UDHR dijelaskan pula bahwa “Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim nasional yang kuasa terhadap tindakan perkosaan hak-hak dasar, yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar negara atau undang-undang.” Hal itu menunjukan bahwa adanya perlindungan Hak Asasi Manusia yang tidak membeda-bedakan antara orang yang satu dengan yang lain, baik antara masyarakat pada umumnya maupun bagi para pelaku tindak pidana.
KUHAP memiliki dua aspek yaitu selain memberikan pengaturan terhadap kewenangan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya, juga melindungi Hak Asasi manusia bagi masyarakat dan para tersangka pelaku tindak pidana. Apabila dalam prosesnya terjadi pelanggaran hak yang dilakukan oleh aparat atau dilaksanakan secara sewenang-wenang, maka tersangka bisa melakukan upaya hukum melalui proses Praperadilan.
Disinilah bukti bagaimana Bangsa Indonesia sangat memahami bahwa penangkapan merupakan pembatasan terhadap hak asasi manusia. KUHAP meletakkan secara proporsional antara perlindungan hak asasi manusia dengan kewenangan aparat penegak hukum dengan Praperadilan menjadi upaya hukum bagi tersangka apabila upaya penangkapan yang dilakukan terhadapnya dirasa melanggar hukum. Dengan demikian, hak asasi manusia tetap terjaga dalam pelaksaaan penangkapan.
BAHAN BACAAN
- BUKU DAN ARTIKEL
Amin S.M., Hukum Acara Pidana Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Yayasan LBHI, Jakarta, 1971.
Effendi Masyhur, Dimensi Dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.
Flores Imer, ‘Proportionality in Constitutional and Human Rights Interpretation’, Georgetown Public Law and Legal Theory Research Paper, 2013.
Goh Joel, ‘Proportionality - An Unattainable Ideal in the Criminal Justice System’, Manchester Student Law Review,Vol 2, 2013, hal 44.
Erik Luna, “Punishment Theory, Holism, and the Procedural Conception of Restorative Justice”, Utah Law Review,2003.
Lubis T. Mulya, In search of Human Rights, Legal-Political, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
Marpaung Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan), Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
- PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Jakarta.
- SUMBER LAIN
UNHCR
Komentar
Posting Komentar