BADAN HUKUM (RECHTPERSOON) SEBAGAI SUBJEK HUKUM PERDATA
Selain manusia, pihak lain yang termasuk sebagai subyek hukum adalah badan hukum ( rectspersoon = orang yang diciptakan oleh hukum ), contohnya Negara, Provinsi, PT, CV dan lain sebagainya. Berikut ini adalah pengetian badan hukum menurut para ahli :
1. Utrech badan hukum adalah tiap pendukung hak yang tidak berjiwa (yang bukan manusia).
2. N.E. Algra badan hukum adalah himpunan orang atau bentuk organisasi kepada siapa diberikan sifat subyek hukum secara tegas.
3. Hugo de Groot dan P.A. Stein menyatakan bahwa badan hukum adalah bentukan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban sendiri sebagaimana halnya dengan orang – orang pribadi.
Badan hukum sebagai subyek hukum dapat bertindak dalam lalu lintas hukum, jadi dapat melakukan perbuatan – perbuatan hukum seperti halnya manusia, misalnya dapat memiliki kekayaan sendiri, dapat melakukan jual beli, dapat digugat dimuka hakim. Namun perlu dipahami bahwa badan hukum pada dasarnya tidak dapat menyandang hak dan kewajiban (tertentu) yang lahir dari hukum tentang orang dan hukum kekeluargaan, misalnya : badan hukum tidak bisa melangsungkan perkawinan.
Baik manusia maupun badan hukum bisa melakukan perbuatan hukum atas tanggungjawab sendiri. Perbedaannya terletak pada keluasan kemampuan mendukung hak dan kewajiban. Kemampuan mendukung hak dan kewajiban yang dimiliki oleh manusia lebih luas daripada kemampuan mendukung hak dan kewajiban yang dimiliki oleh badan hukum.
Ada kriteria tertentu atau persyaratan tertentu agar badan hukum dapat dikategorikan sebagai badan hukum. Adapun kriteria agar badan hukum berstatus sebagai badan hukum adalah :
1. Ada harta kekayaan yang terpisah.
2. Mempunyai tujuan tertentu.
3. Mempunyai kepentingan sendiri.
4. Ada organisasi yang teratur.
Harta kekayaan yang dimiliki badan hukum berasal dari para anggotanya. Meskipun demikian, setelah dimiliki oleh badan hukum, harta kekayaan ini sama sekali terpisah dari kepemilikan anggotanya. Segala perbuatan hukum yang bersifat pribadi oleh para anggotanya terhadap pihak ketiga tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta kekayaan badan hukum.
Perbuatan hukum oleh sebuah badan hukum, hanya dapat dilakukan oleh organnya atau pengurusnya. Pada saat melakukan perbuatan hukum, organ – organ yang terdapat dalam badan hukum dibatasi oleh :
1. Anggaran dasar.
2. Perundang – perundangan.
3. Tujuan.
Perbuatan hukum organ di luar pembatasan ini, berarti di luar batas kewenangannya, pada dasarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum. Terkait hal ini ali Rido mengatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan oleh organ di luar batas wewenangnya, badan hukum hanya terikat dan dapat dipertanggungjawabkan jika :
1. Kemudian ternyata dari tindakan itu menguntungkan badan hukum.
2. Suatu organ yang lebih tinggi kedudukannya kemudian menyetujui tindakan itu.
Terkait dengan kedudukan badan hukum sebagai subyek hukum, ada beberapa teori yang mendukungnya. Adapun teori – teori tersebut adalah :
1. Teori Fiksi ( Fictie Teorie )
Teori fiksi yang dipelopori oleh Von Safigny dan Ph. A.N Houwing. Menurut teori fiksi ini badan hukum diilustrasikan sebagai suatu subyek hukum, tetapi bukan merupakan subyek hukum yang benar – benar ada, melainkan merupakan subyek hukum fiksi, yang sengaja diciptakan oleh hukum.
Teori ini berpangkal tolak dari pikiran bahwa sesungguhnya subyek hukum hanyalah manusia saja. Subyek hukum selain manusia hanyalah ada di pikiran ( angan – angan ) saja. Ia diciptakan ( dikonstruksi ) karena diperlukan.
Teori ini populer hingga akhir abad ke 19, akan tetapi saat ini pengikutnya sudah hampir – hampir tidak ada. Van Apeldorn dan Hugo de Groot adalah dua ahli hukum di antara beberapa ahli hukum yang menentang teori fiksi ini. Kelemahan teori ini tidak dapat menjawab permasalahan : siapa yang digugat kalau karena tindakan – tindakan badan hukum seseorang dirugikan, atau siapa yang berhak menggugat apabila seseorang merugikan badan hukum.
2. Teori Organ ( Orgaan Teorie )
Teori yang dipelopori oleh Otto Von Gierke berpendapat bahwa badan hukum adalah suatu yang sungguh – sungguh ada di dalam pergaulan hukum yang mewujudkan kehendaknya dengan perantaraan alat – alat ( organ – organ ) yang ada padanya ( pengurusnya ). Teori ini mengutarakan bahwa peraturan – peraturan hukum yang menurut teori fiksi tidak dapat diperlakukan bagi badan hukum berlaku juga untuk badan hukum. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa keadaan jiwa organ badan hukum, seperti seorang ketua, sekretaris atau lain anggota pengurus dianggap juga sebagai keadaan jiwa badan hukum sendiri.
3. Teori Kekayaan Tujuan
Teori kekayaan yang dipelopori oleh A. Brinz berpendapat bahwa badan hukum itu bukan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat pada tujuannya. Setiap hak tidak ditentukan oleh suatu subyek tetapi ditentukan oleh suatu tujuan. Teori ini hanya dapat menerangkan dasar yuridis dari yayasan.
4. Teori Milik Kolektif ( Propriete Collective )
Teori milik kolektif yang dipelopori oleh Planiol dan Molengraaf berpendapat bahwa hak dan kewajiban hukum itu pada hakekatnya hak dan kewajiban anggota bersama – sama. Oleh karena itu badan hukum adalah konstitusi yuridis saja, jadi pada hakekatnya abstrak.
Teori milik bersama ini berlaku untuk korporasi, badan hukum yang mempunyai anggota, tetapi untuk yayasan teori ini tidak banyak berarti.
BAHAN BACAAN
A. Ichsan, Hukum Perdata , PT Pembimbing Masa, Jakarta, 1967.
A. Pitlo, Hukum Perdata, Cetakan Pertama, Alih Bahasa M. Moerasad dari buku aslinya Korte Uitleg van Enige Burgerlijk Rechtelijke
Hoofdstukken-Cetakan ketujuh-1969, Penerbit PT Intermasa, Jakarta, 1977.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,1991
Marhalnis Abdulhay, Hukum Perdata material jilid II Cet 1, Paramita, Jakarta, 1984.
Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Cetakan ke II, Penerbit Alumni, Bandung, 1983.
-----, Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung. Citra Aditya Bakti. 1987
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 1989.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, Rajawali Pres, Jakarta, 2003.
P.N.H. Simanjutak, Hukum Perdata Indonesia, PT Kharisma Putera Utama, Jakarta, 2015.
Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari undang-undang), Mandar Maju, Bandung, 1994
R. Setiawan, Pokok – Pokok Hukum Perikatan, Putra A Badin, Bandung, 1977.
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas – Asas Hukum Perdata, PT Alumni, Bandung. 2006.
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Subekti, R, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1976.
----- Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
Subekti, R, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Pradnya Paramita, Jakarta, 2003.
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cetakan V, PT. Penerbit Balai Buku Ikhtiar, Jakarta, 1959.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Cetakan Kesembilan, CV.Mandar Maju, Bandung, 2011.
-----, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur, Bandung, 1981.
Komentar
Posting Komentar