ANALISIS YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

 LATAR BELAKANG

Laporan yang datang dari penjuru mencatat bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi di segala lapisan masyarakat dari keluarga terpandang sampai keluarga miksin. Pelaku dan korban itu sendiri berasal dari berbagai suku bangsa, ras, agama, kelas sosial, dan tingkat pendidikan yang mana pun. Untuk konteks Indonesia, dimilikinya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, untuk selanjutanya disebut UU PKDRT dapat diharapkan sebagi babak permulaan yang baik bagi upaya untuk mengakhiri kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Seorang ahli dalam hal sociological jurisprudence, Roscoe Pound sangat yakin bahwa hukum dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering)[1]

Walaupun telah diundangkannya UU PKDRT, kasus kekerasan yang dialami perempuan tidak kunjung berkurang, bahkan cenderung bertambah. Catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat jumlah kekerasan terhadap perempuan selama tahun 2014 sebanyak 293.220 kasus. Jumlah kasus kekerasan tahun ini meningkat dibandingkan 2013 yang hanya 263 ribu kasus.[2] Fakta tersebut seakan mengugat pikiran mengenai perlindungan UU PKDRT terhadap perempuan. Oleh karena itu, patut untuk dipertanyakan apakah UU PKDRT telah memberikan perlindungan kepada perempuan?

Dalam konteks ini, penulis menitikberatkan perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, bukan sebagai pelaku. Oleh karena itu, teori yang digunakan oleh penulis adalah gabungan antara teori gender dengan viktimologi.

PEMBAHASAN

Negara Indonesia sebagai negara hukum juga perlu memahami dengan keadaan dunia yang telah mulai banyak memperhatikan Hak Asasi Manusia, sehingga di era reformasi sebuah agenda besar tersebut menuntut adanya perubahan sebuah tata kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Salah satu dari perubahan tersebut yang menonjol adalah mengenai perlindungan hak-hak warga negara yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia itu sendiri. Dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga, aspek perlindungan perempuan dapat diperinci sebagai berikut.

  1. Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (Pasal 1 angka 1 jo Pasal 1 angka 3 UU PKDRT)

Pasal 1 angka 1

“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Berdasarkan keadaan dan status korban, Tipologi korban dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu sebagai berikut:[3]

  1. unrelated victims yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggungjawab sepenuhnya terletak pada pelaku.
  2. provocative victims yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku.
  3. participating victims yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
  4. biologically victims yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
  5. socially weak victims yaitu mereka yang memiliki kedudukan social yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
  6. self victimizing victims yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi, prostitusi.

Dalam struktur kekerabatan di Indonesia kaum lelaki ditempatkan pada posisi dominan sebagai kepala rumah tangga. Pada posisi yang sedemikian superior sering mengakibatkan dirinya sangat berkuasa ditengah keluarga dan bahkan menyalahartikan posisi yang dimilikinya terhadap anggota keluarga lainnya dan menjadi aktor pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Namun demikian dalam rumah tangga, tidak hanya laki-laki menjadi pelaku utama kekerasan, perempuan juga terlibat didalam tindak pidana ini walau hanya dalam skala yang lebih kecil. Korban menurut Undang-undang ini adalah socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.

Jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 3 UU PKDRT yang menyatakan bahwa korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam rumah tangga, maka korban dari kekerasan dalam rumah tangga adalah seseorang dalam lingkup rumah tangga, terutama perempuan. Hal ini dikuatkan oleh konsiderans menimbang huruf c yang menyatakan bahwa “korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.” Dengan demikian, perlindungan dalam UU PKDRT menitikberatkan pada perlindungan korban berjenis kelamin perempuan sehingga sudah tepat jika undang-undang ini mengutamakan perempuan.

  1. Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Pasal 5 UU PKDRT)

Pasal 5

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara (a) kekerasan fisik; (b) kekerasan psikis; (c) kekerasan seksual; atau (d) penelantaran rumah tangga.

Dengan mengacu pada UU PKDRT, maka kekerasan dalam rumah tangga dapat berbentuk:

  1. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit ataupun luka berat;
  2. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang
  3. Kekerasan seksual yang meliputi: pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang tingal menetap dalam lingkup rumah tangga, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.
  4. Penelantaran rumah tangga, yaitu setiap orang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Termasuk dalam pengertian penelantaran adalah setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah sehingga korban dibawah kendali orang tersebut.

Bentuk kekerasan terutama terhadap perempuan dan anak yang dapat dikelompokan ke dalam 5 kategori sebagai berikut.[4]

  1. Perlakuan salah (abuse) yang dapat mencederai secara fisik, mental psikis, dan seksual melalui pemukulan, pernyataan/ucapan, paksaan hubungan seksual dan sebagainya.
  2. Tindak eksploitasi (exploitation) dilakukan untuk memperoleh keuntungan materi, ekonomi dan kepuasan sendiri seperti perdagangan anak, pelacuran, pengemis dan sebagainya.
  3. Penelantaran (englected) dilakukan dalan bentuk pengabaian (melalaikan) pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi dasar sehingga menyebabkan kemiskinan dan kemelaratan yang tiada henti.
  4. Perbedaan perlakuan (discrimination) dengan memberikan perhatian dan kasih sayang yang berbeda terhadap anak, isteri dengan orang tua dan sebagainya.
  5. Pengabaian kondisi berbahaya (emergency condition) dengan membiarkan anak dan perempuan di wilayah konflik, di pengungsian, menggunakan zat kimia dan dalam keadaan bahaya lainnya.

Jika ditinjau dari bentuk kekerasan, UU PKDRT hanya mengakomodir tiga dari lima bentuk kekerasan yang mungkin terjadi dalam ruang lingkup keluarga. Perbedaan perlakuan (discrimination) dan Pengabaian kondisi berbahaya (emergency condition) merupakan bentuk kekerasan yang tidak diakomodir dalam UU PKDRT sehingga UU PKDRT tidak melingkupi semua bentuk kekerasan yang mungkin terjadi dalam lingkup rumah tangga.

Salah satu bentuk kekerasan yang menjadi penting untuk diatur adalah perbedan perlakuan (discrimination). Hal ini dikarenakan filosofi dari diundangkannya UU PKDRT adalah untuk menjamin bahwa setiap manusia, baik laki-laki atau perempuan, memiliki kesempatan dan hak yang sama serta diperlakukan secara setara. Sekilas dengan tidak diaturnya bentuk Perbedaan perlakuan (discrimination) dengan memberikan perhatian dan kasih sayang yang berbeda terhadap anak, isteri dengan orang tua dan sebagainya dalam UU PKDRT membuat UU tersebut terlihat tidak melindungi perempuan. Namun, apakah benar demikian?

Dalam Teori Sosial Konflik dijelaskan bahwa keluarga bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik yang menganggap bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial yang operatif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. Menurut para feminis Marxis dan sosialis institusi yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender adalah keluarga dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan perfect equality (kesetaraan gender 50/50) adalah dengan menghilangkan peran biologis gender, yaitu dengan usaha radikal untuk mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang menciptakannya.[5]

Jika merujuk pada teori tersebut, maka tidak dicantumkannya perbedaan perlakuan (discrimination) dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga dalam UU PKDRT merupakan bukti bahwa undang-undang tersebut tidak ditujukan kepada perlindungan perempuan secara sempurna. Hal ini dikarenakan tanpa pencantuman perbedaan perlakuan (discrimination) dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga dalam UU PKDRT mustahil akan menciptakan perfect equality.

Berbeda halnya dengan Teori Feminis Liberal. Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat.[6]

Penolakan persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan menurut Teori Feminis Liberal merupakan bukti bahwa pada dasarnya tidak semua hal dapat dipersamakan. Ada beberapa ketentuan tertentu yang memang sudah selayaknya dibedakan perlakuaannya. Oleh karena itu, tidak dicantumkannya perbedaan perlakuan (discrimination) dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga dalam UU PKDRT merupakan komitmen untuk menjaga agar perlindungan perempuan tetap terarah dan tepat sasaran.

Pada hakikatnya, terdapat keragaman dalam kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada anggota yang mampu menjadi pemimpin, ada yang menjadi sekretaris atau bendahara, dan ada yang menjadi anggota biasa. Perbedaan fungsi ini bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi, bukan untuk kepentingan individu. Struktur dan fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat.

Sama seperti keluarga, setiap anggota keluarga memiliki fungsinya masing-masing. Keberagaman fungsi inilah yang pada akhirnya akan membuat keberagaman perlakuan. Dengan menyeragamkan perlakuan, maka secara otomatis akan menciptakan ketidakseimbangan karena perlakuaan yang diberikan tidak sebanding dengan fungsi yang diemban. Oleh karena itu, dengan memasukkan nondiskriminasi dalam asas tanpa memasukkannya dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga merupakan pilihan yang tepat.

Perbedaan perlakuan sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki maupun terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan tersebut terwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan publik, pembentukan secara stereotip atau pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden)

  1. Pemaksaan Hubungan Seksual (Pasal 8 UU PKDRT)

Pasal 8

Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Correa dan Petchesky menjelaskan 4 prinsip yang menjadi dasar etis dari hak-hak reproduktif dan seksual perempuan.[7] Salah satu prinsip yang menjadi dasar etis dari hak-hak reproduktif tersebut adalah Bodily integrity (integritas tubuh). Integritas tubuh adalah hak atas keamanan dan kontrol terhadap tubuhnya. Integritas tubuh yang dimaksud dalam prinsip ini berarti memperlakukan tubuh dan kebutuhan-kebutuhan tubuh sebagai sebuah kesatuan, bukan sebagai potongan fungsi atau hanyalah sebagai fragment. Di antara 3 prinsip lainnya, prinsip ini merupakan pokok dari kebebasan reproduktif dan kebebasan seksual. Prinsip ini mengartikan tubuh sebagai bagian yang integral dari seseorang yang kesehatan dan “kesejahteraannya” (termasuk sexual pleasure) merupakan dasar yang perlu untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, integritas tubuh bukan hanya hak individu, tetapi juga merupakan hak sosial. Karena tanpanya, seorang perempuan tidak dapat berfungsi sebagai anggota masyarakat yang bertanggungjawab. Integritas tubuh mencakup dua hal:

  1. hak seorang perempuan untuk tidak diasingkan dari kapasitas seksual dan reproduktifnya (misalnya melalui hubungan seks yang dipaksakan atau pernikahan paksa, pelarangan akses pada metode-metode kontrasepsi, sterilisasi tanpa izin/ informed consent, pelarangan homoseksualitas),
  2. hak perempuan atas integritas dari tubuhnya (misalnya bebas dari kekerasan seksual, penggunakan metode kontrasepsi yang tidak aman, dari kehamilan yang tidak diinginkan atau pemaksaan untuk memelihara anak, dan dari intervensi medis yang tidak diinginkan).

Berkaitan dengan integritas tubuh, Konferensi Perempuan Internasional di Meksiko tahun 1975 telah menghasilkan Deklarasi yang menyebutkan, bahwa tubuh manusia, apakah ia perempuan atau laki-laki tidak dapat diganggu gugat dan penghormatan terhadapnya merupakan elemen yang fundamental dari martabat dan kebebasan manusia”. Berkaitan dengan itu, adalah hak perempuan untuk “mengontrol” dan “memiliki” tubuh mereka sendiri. Termasuk hak perempuan untuk tidak disingkirkan dari kapasitas seksual dan reproduksinya. Hak untuk menikmati potensi tubuhnya secara penuh untuk kesehatan, prokreasi dan seksualitas.

Pemaksaan hubungan seksual merupakan pelanggaran atas prinsip Bodily integrity (integritas tubuh). Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki hak atas tubuhnya sehingga pemaksaan hubungan seksual merupakan bentuk ketidakhormatan seseorang terhadap orang lain.

Selain itu, pemaksaan hubungan seksual merupakan bentuk ketidakadilan gender berjenis Gender dan Violence (Kekerasan). Ketidakadilan gender jenis ini terjadi disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan dalam masyarakat. Banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, diantaranya: pemerkosaan terhadap perempuan dalam perkawinan, perkosaan terjadi ketika suami melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan si istri, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga, kekerasan dalam bentuk pelacuran.[8]

Dengan demikian, pasal ini tidak hanya merupakan bentuk penghormatan atas prinsip Bodily integrity (integritas tubuh), tetapi juga merupakan pendobrak atas ketidakadilan gender. Oleh karena itu, penerapan pasal ini merupakan bentuk dari perlindungan perempuan.

Di sisi lain, Deborah Sinclair (1999) memberikan batasan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan intim mencakup usaha-usaha dari pasangan untuk mengintimidasi, baik dengan ancaman atau melalui penggunaan kekuatan phisik untuk menyerang tubuh perempuan atau barang-barang miliknya. Tujuan dari serangan tersebut adalah mengendalikan tingkah laku perempuan atau memunculkan rasa takut. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meliputi kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis dan kekerasan berdimensi ekonomi.[9]

Jika merujuk pada pendapat Sinclair tersebut, maka pengaturan pemaksaan hubungan seksual dalam UU PKDRT merupakan tindakan yang berlebihan. Hal ini dikarenakan pemaksaan hubungan seksual tersebut belum tentu mengakibatkan seorang perempuan merasa terintimidasi, terancam atau tersiksa, baik secara fisik maupun secara psikis. Suatu perbuatan dapat dikatakan merupakan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga apabila akibat dari perbuatan tersebut menyebabkan seorang perempuan merasa terintimidasi, terancam atau tersiksa, baik secara fisik maupun secara psikis. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa penerapan pasal tersebut merupakan upaya untuk melindungi perempuan.

  1. Hak-Hak Korban (Pasal 10 UU PKDRT)

Pasal 10

Korban berhak mendapatkan : (a) perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; (b) pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; (c) penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; (d) pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (e) pelayanan bimbingan rohani.

Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa perlindungan korban dapat dilihat sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana (berarti perlindungan hak asasi manusia atau kepentingan hukum seseorang). Perlindungan korban dapat pula diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana (jadi identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan ini dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain, dengan pemaafan), pemulihan keseimbangan batin (antara lain, dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial).[10]

Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 juga telah menetapkan beberapa hak korban agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu : (a) Compassion, respect and recognition; (b) Receive information and explanation about the progress of case; (c) Provide information; (d) Providing propef assistance; (e) Protection of privacy and physical safety; (f) Restitution and compensation; (g) To access to the mechanism of justice system.

Dari empat bentuk jaminan sebagaimana yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, Pasal 10 UU PKDRT telah memberikan jaminan terhadap hak-hak korban, kecuali pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial). Hal ini merupakan hal yang wajar, karena kebanyakan pasangan di Indonesia tidak melakukan perjanjian perkawinan sehingga terjadi pencampuran harta. Pemberian ganti rugi dari pelaku, yang notabene merupakan anggota keluarganya sendiri merupakan hal yang absurd ketika harta yang dimilikinya sejatinya adalah harta korban pula. Dengan kata lain, Pasal 10 UU PKDRT telah memberikan perlindungan kepada perempuan.

  1. Perintah Perlindungan Korban

Pasal 16

  • Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.
  • Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
  • Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Dalam konsteks perlindungan korban adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya) seperti pemberian perlindungan atau pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku seperti yang diungkapkan oleh Muladi perlunya korban dilindungi karena ”pertama” masyarakat dianggap sebagai perwujudan sistem kepercayaan yang melembaga ”kedua” adanya argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial ”ketiga” perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu pemindahan yaitu penyelesaian konflik. Maka dalam perlindungan korban terdapat beberapa teori antara lain :

  1. Teori Utilitas

Teori ini menitik beratkan pada kemanfaatan yang terbesar dari jumlah yang terbesar

  1. Teori Tanggung Jawab

Pada hakekatnya subjek hukum (orang maupun kelompok) bertanggung jawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya.

  1. Teori Ganti Kerugian

Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain pelaku dibebani kewajiban untuk memberikan ganti rugi.[11]

Pada konteks perlindungan hukum korban terkandung beberapa asas hukum diantaranya adalah[12]:

  1. Asas Manfaat

Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya manfaat bagi kaum korban kejahatan, tetapi kemanfaatan bagi masyarakat luas.

  1. Asas Keadilan

Penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi tidak tersifat mutlak karena dibatasi oleh rasa keadilan yang harus diberikan juga pada pelaku.

  1. Asas Keseimbangan

Pemulihan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula.

  1. Asas Kepastian Hukum

Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban.

Perintah perlindungan korban dapat diasosiasikan sebagai sebuah upaya pertama terhadap korban agar korban tidak mengalami lagi, atau sejauh mungkin menghindarkan korban dari kekerasan yang berkelanjutan. Perintah perlindungan korban merupakan bentuk pemberian pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Dengan statusnya sebagai socially weak victims, perempuan diberikan perlindungan oleh undang-undang melalui pasal ini melalui upaya pencegahan agar perbuatan tersebut tidak diulangi oleh pelaku.

  1. Sanksi Pidana Kekerasan Psikis (Pasal 45 UU PKDRT)

Pasal 45

  • Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

kelemahan substansial dalam UU PKDRT terkait dengan kekerasan psikis, yaitu (a) dampak psikis dibatasi pada ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang, (b) dampak-dampak kekerasan psikis yang sudah dicantumkan itu hanya disebutkan namun tidak dijelaskan, dan (c) frase yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari juga tidak tepat untuk menjadi indikator keparahan dampak psikis.

Kekerasan psikis merupakan kekerasan yang melekat pada kekerasan fisik dan seksual. Seseorang dapat melakukan kekerasan psikis saja tanpa melakukan kekerasan fisik dan atau seksual. Namun kekerasan fisik dan atau seksual umumnya dibarengi dengan kekerasan psikis. Hal ini disebabkan kekerasan fisik dan seksual tidak hanya menimbulkan dampak fisik, melainkan juga dampak psikis. Dampak psikis ini dapat saja berbeda-beda pada setiap orang. Dampak psikis juga tidak selalu muncul dalam bentuk gangguan jiwa yang kentara. Namun dampak ini dapat saja dirasakan korban sampai batas waktu yang tidak dapat dipastikan. Oleh karena itu dibatasinya dampak psikis seperti pada butir (a) di atas dan menggolongkan keparahan kekerasan psikis berdasarkan dampak yang menghambat kegiatan sehari-hari dengan sendirinya membatasi pengalaman perempuan yang kompleks dan subjektif. Dengan demikian menjadi penting untuk melibatkan unsur psikologis ini ketika mengevaluasi pengalaman korban KDRT dalam memperjuangkan keadilan hukum bagi penanganan kasusnya.

Masalah paling signifikan adalah tidak semua kasus yang dilaporkan akan diproses lebih lanjut. Dalam hal ini, korban sering dipersalahkan sebagai pihak yang mencabut laporan. Pandangan negatif terhadap korban yang menggugat pidana atau cerai suaminya, ketergantungan ekonomi korban terhadap pelaku, nama baik keluarga, dan aspek eksternal lainnya diduga memengaruhi korban dalam mencabut laporan.

Ada sebagian kasus yang justru dihentikan prosesnya oleh aparat kepolisian atau kejaksaan. Jika kasus diproses lebih lanjut pun, belum tentu korban mendapatkan keadilan seperti yang ia harapkan. Hakim cenderung menjatuhkan hukuman di bawah satu tahun yang tergolong ringan dibandingkan hukuman maksimal dalam UU PKDRT. Sementara itu dalam proses perceraian, UU PKDRT pun tidak pernah dijadikan pegangan olah hakim karena fungsi UU PKDRT yang lebih terkait dengan hukum pidana. Tidak banyak korban yang dapat membicarakan KDRT yang dialaminya dalam sidang perceraian karena hakim menganggap hal itu bukan bagiannya.

Tentunya amat disayangkan UU PKDRT yang bertujuan melindungi korban ternyata dalam pelaksanaannya sangat sedikit mencapai tujuan tersebut. Keberfungsian UU PKDRT untuk menegakkan keadilan bagi perempuan jadi diragukan. Kekhawatiran pun muncul jikalau hukum memang tidak dapat menjadi alat bagi perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ketentuan pidana dalam UU PKDRT tidak mencerminkan perlindungan terhadap perempuan.

 

KESIMPULAN

 

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa UU PKDRT telah memberikan perlindungan terhadap perempuan. Dari enam indikator yang diteliti, empat diantaranya memberikan perlindungan yang komprehensif, satu masih dalam perdebatan, dan satu indikator tidak memberikan perlindungan terhadap perempuan. Walaupun hanya sekitar 66,66% indikator yang menunjukkan perlindungan yang komprehensif terhadap perempuan dalam UU PKDRT, UU PKDRT merupakan undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap perempuan yang bertatus korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.



 

[1] Sulistyowati Irianto. 2008. Perempuan Dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 313.

[2] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/03/06/nks2r8-kekerasan-terhadap-perempuan-meningkat, diakses tertanggal 27 Maret 2015 pukul 21.23 wib

[3] Weda, Wade Darma.1996. Kriminologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm 90

[4] Ernaningsih, Wahyu. 2012. Perspektif Gender Dalam Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Palembang: Universitas Sriwijaya Press, hlm. 5, diakses dari http://eprints.unsri.ac.id/2177/1/Perspektif_Gender_Dalam_Undang_Undang_Kekerasan_Dalam_Rumah_Tangga.pdf, tertanggal 25 Maret 2015 pukul 19.32 wib.

[5] Megawangi, Ratna (1999). Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan. Cet. I., hlm. 71

[6] Ibid, hlm. 228

[7] Sonia Correa and Rosalind Petchesky. 1994. Reproductive and Sexual Rights: A Feminist Perspective, in Population Policies Reconsidered: Health, Empowered, and Rights. Cambridge: Harvard series on population and international health.

[8] Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm. 12-18

[9] Sanyata, Sigit. 2010. Aplikasi Terapi Feminis Pada Konseling untuk Perempuan Korban KDRT. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Psikologi, dalam Jurnal Bimbingan Konseling Volume XIII Nomor 1 Tahun 2010, diakses dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Sigit%20%20Sanyata,%20M.Pd./B.1f.Artikel%20Ilmiah-Aplikasi%20Teori%20Feminis.pdf, tertanggal 25 Maret 2015 pukul 18.54 wib

[10] Arief, Barda Nawawi.2010. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidanan dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Prenada Media Group, hlm. 61

[11] Gultom, Elisatris dan Mansur, Arief, M., Didik. 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 163

[12] Ibid, hlm. 164



 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arief, Barda Nawawi.2010. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Prenada Media Group.

Ernaningsih, Wahyu. 2012. Perspektif Gender Dalam Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Palembang: Universitas Sriwijaya Press, hlm. 5, diakses dari http://eprints.unsri.ac.id/2177/1/Perspektif_Gender_Dalam_Undang_Undang_Kekerasan_Dalam_Rumah_Tangga.pdf, tertanggal 25 Maret 2015 pukul 19.32 wib.

Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Gultom, Elisatris dan Mansur, Arief, M., Didik. 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 163

Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan.

Republika. 2015. Jakarta, Republika Diakses dari http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/03/06/nks2r8-kekerasan-terhadap-perempuan-meningkat, diakses tertanggal 27 Maret 2015 pukul 21.23 wib

Sanyata, Sigit. 2010. Aplikasi Terapi Feminis Pada Konseling untuk Perempuan Korban KDRT. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Psikologi, dalam Jurnal Bimbingan Konseling Volume XIII Nomor 1 Tahun 2010, diakses dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Sigit%20%20Sanyata,%20M.Pd./B.1f.Artikel%20Ilmiah-Aplikasi%20Teori%20Feminis.pdf, tertanggal 25 Maret 2015 pukul 18.54 wib

Sonia Correa and Rosalind Petchesky. 1994. Reproductive and Sexual Rights: A Feminist Perspective, in Population Policies Reconsidered: Health, Empowered, and Rights. Cambridge: Harvard series on population and international health.

Sulistyowati Irianto. 2008. Perempuan Dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Weda, Wade Darma.1996. Kriminologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEKUASAAN ORANG TUA (OUDERLIJKE MACHT)

KEADAAN TIDAK HADIR ATAU KETIDAKHADIRAN DALAM HUKUM PERDATA (AFWEZIGHEID)

DOMISILI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA